Rabu, 26 Oktober 2011





we are sale of balinase hadycraft .. with low price and export quality.. on time deleveri

Senin, 24 Oktober 2011

Dengan yadnya mari kita tingkatkan .. iman dan taqua kepada ida saghyang widhi  wasa
yadnya yang di dasari dengan rasa tulus ikhlas dan sesuai dengan kemampuan ,, itulah yang utama.. karena kesederhanaan itulah keagungan sejati..

Agama, Radikalisme dan Terorisme 2

Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan)  dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan  benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut.  Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun, melainkan  atas dasar bakat (guna) dan pekerjaannya (karma).  Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris. Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira.  Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran agama Hindu.
Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas  15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’ (aksi) berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Lebih jauh di dalam pasal 1  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa,
Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatas namakan agama seperti pengakuan  pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris (2005: 52) menyatakan,
Jalan Ksatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle)  adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan  dan ingin mengikuti jalan non kekerasan.  Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal  yang utama dari Ahimsa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahimsa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahimsa sebagai salah satu prinsip politik, Ahimsa dari para pejuang atau Ksatriya, yang diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan menjadi target  manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Ksatriya Ahimsa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rama dan Laksamana untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua.
Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional
Menanggulangi radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan benar-benar   dapat   ditingkatkan,   setidaknya  mengejar  ketertinggalan  dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan perang yang berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga terdekat Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di Malaysia terorisme dapat dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme di Indonesia adalah warga negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok negara, mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan lebih jauh, dan menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional dalam arti yang sesungguhnya.    Pendidikan agama yang merupakan bagian yang integral dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kebenaran dari masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini,  seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1)Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
2)Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
3)Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4)Shanti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5)Ahimsa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
Lebih jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu.
1)Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain.
2)Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
3)Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu komunitas yang tunggal.
4)Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan.
5)Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6)Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7)Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun.
8)Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9)Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan.
10)Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk.
Harapan
Semoga bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa yang silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6)  “Nowhere in the world do we find the country in which religion plays such an important role in the lives of people............... Wether they are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or Taoists, they have to believe in One God. There is no place for atheists”, dapat segera menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan agama ini.

Agama, Radikalisme dan Terorisme


Print E-mail
Article Index
Agama, Radikalisme dan Terorisme
Page 2
“Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain,
agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian
terdistorsi sehingga menjadi penyebab
perselisihan dan pembantaian
Mahatma Gandhi, 2004:170
ImagePendahuluan  
Tanggal 1 Oktober 2005 ketika bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila dan dunia memperingati hari lahirnya Mahatma Gandhi sebagai bapak anti kekerasan, pada hari yang sama dunia dikejutkan lagi dengan meledaknya bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran, Bali. Peristiwa ini menjadi keperihatinan semua orang, karena terjadinya pengkhianatan terhadap nilai  kemanusiaan dan kekerasan di bumi Nusantara yang terkenal masyarakatnya taat beragama, dan cinta dengan perdamaian. Peledakan bom tersebut mengakibatkan citra bangsa Indonesia di mata dunia  semakin terpuruk. Syukur, tidak begitu lama setelah peristiwa bom Bali 2, gembong teroris internasional, Dr. Azahari dapat dibunuh di Batu, Malang, Jawa Timur dan anak buahnya sebagian sudah ditangkap dan kini dalam proses pemeriksaan. Namun demikian, satu pentolan teroris lagi yakni Nurdin M.Top masih dalam perburuan dan semoga tidak terlalu lama, yang bersangkutan dapat diringkus dan kekuatannya dapat dimusnahkan.
Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia, bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke dalam krisis multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit dilaksanakan dan penderitaan rakyat  akan semakin berat. Hal ini disebabkan para investor maupun wisatawan asing tidak akan datang ke Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang teroris akan menjadi stigma yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang memiliki pikiran yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai salah satu bentuk ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat beragama untuk tidak sampai memahami agama yang dianutnya itu dijadikan motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan bertindak sebagai teroris. Tulisan singkat ini mencoba menganalisa agama, radikalisme dan terorisme dari perspektif agama Hindu.
Agama Universal dan Usaha Mencari Titik Temu Agama-Agama      
Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai agama universal, dan memang ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama. Walaupun agama itu universal, tetapi ada pula ajaran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama K. H. A. Hasyim Muzadi dalam Temu Nasional Pemuka Umat Beragama Indonesia, tanggal 13-14 Januari 2003 bertempat di Hotel Sahid, Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan, apa-apa yang sama dalam masing-masing agama jangan dibeda-bedakan dan apa yang berbeda-beda dalam agama masing-masing jangan disama-samakan. Pendapat ini logis, karena memandang sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak akan menemukan titik persamaan. Perbedaan agama akan semakin mendalam bila dilihat dari ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan (human values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan penganut masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahtraan hidup bersama akan dapat diwujudkan. Untuk dapat memahami bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa diperlukan studi yang mendalam terhadap masing-masing agama, dan studi semacam itu telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi (Ellsberg, 2004:166)  yang menyatakan:
“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku  sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”
Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap agama-agama, maka kesadaran bahwa agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkembangkan saling pengertian dan kerukunan umat beragama. Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan (2002:35) menyatakan.
“Dengan mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan sikap kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan fanatik terhadap ajaran yang kaku”.
Pandangan Gandhi ataupun Radhakrishnan tersebut kiranya mendapat inspirasi dari kitab suci Veda dan Bhagavadgita yang menyatakan,
“Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada manusia, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia” (Atharvaveda XII.1.45).
“Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku” (Bhagavadgita IV.11).
Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan menuju ke satu puncak gunung.
Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut.
“Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri”
Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi  setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai manusia (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: untuk hidup  harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang  Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan  yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut.
“Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil”.
“Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang, “Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling berselisih” (Mumukshananda, 1992:24).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan.
Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi seperti dinyatakan oleh  Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan   Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama di India “Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India dan di mana pun saat ini,” tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan kekuasaan  eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain memurnikan (suddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan agama.  “Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan”.  Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. “Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk suatu agama  Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan tergantung pada kemurnian hati”. Dan katanya lagi, “Akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah mengikuti keyakinan Anda”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devata, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).
Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme  yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan  oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.

ktualisasi agama dalam Konteks Perubahan Sosial

A Print E-mail
Article Index
Aktualisasi agama dalam Konteks Perubahan Sosial
Page 2
Page 3
“Wahai umat manusia, satukan pikiranmu untuk mencapai
satu tujuan dan satukan hatimu, satukanlah pikiranmu dengan
sesama dan semuanya tinggal dalam pergaulan
masyarakat yang harmonis”
Rgveda X.191.4
ImageAbstract
Social life always proceeds dynamicaly following the capabilities of the society at adapting themselves into the natural phenomenon. Dynamism is an essence of the mankind life in its community and society, which opens to the local, national, and international progress. Consequently, there will be sosial change that result in behavior changes, orientational changes, value and cultural changes.
    The globalizationwith its finding in informational technology is the result of the social change that break through sosial, economic, cultural, and religious barriers and becomes an international possesion. In the borderless age, a society tends to change the behavior and orientation, from the traditional, communal, religious to consumerism, individual, and seculer. Seeing from religious perspective, this change seem to be significant because religions shuld play big roles in the process so that the change would safely take the society toward a more peaceful condition. Because of this, religious values should be actualized in the change context so as the religion can become the spirit/motivation and the controller of the men’s behaior along the changes. A religion should be the spirit in men’s activities abd the controller when there is a devergency in the society.
    In Hindu perspective, there are a lot of social living conceptions that come from Vedic teachings that can be actualized as an anticipative thought and a problem solver in facing the age propblems, which in Hindu is named Kali (quarreling) age. The conceptions are described in Itihasa and Purana scripts. Facing a social change, Hindu stresses a harmony in living, vertically (with God) and horizontally (with creature and nature) so that the world prosperity and its implication of the next world will be achieved.
A.Pendahuluan
Era globalisasi kini merupakan dinamika jaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengakibatkan perubahan sosial yang sangat besar. Dalam beberapa hal, perubahan sosial dan kehidupan masyarakat dewasa ini,  nampaknya seperti ada kemiripan dengan jaman Kaliyuga. Di dalam berbagai kitab Itihàsa dan Puràna ditengarai bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina
pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia mulai memasuki era atau jaman Kaliyuga (Gambirananda, 1984: XIII). Kata Kali berarti pertengkaran, dan jaman ini ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Pertengkaran terjadi di mana-mana, di kalangan tokoh-tokoh intern se-agamapun dan bahkan hampir setiap keluarga tidak luput dari pertengkaran. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan nafsu indrawi (Kàma) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri jaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi dipercepat dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara, bangsa dan sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat luas. Budaya barat yang sekuler dan nampak juga sebagian hedonist sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur.
Pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia digambarkan dalam kitab Skanda Puràna, XVII.1, antara lain pada : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/emas (Vettam Mani, 1989: 373). Hal ini adalah logis, karena pada tempat-tempat tersebut merupakan arena yang sering menyulut pertengkaran. Minuman  keras menjadikan  seseorang  mabuk  dan bila mabuk maka pikiran,  perkataan dan tingkah lakunya sulit untuk dikendalikan. Demikian di tempat judian, pelacuran dan persaingan mencari harta benda yang tidak dilandasi oleh Dharma (kebenaran), di tempat-tempat tersebut sangat peka meletupnya pertengkaran yang kadang-kadang berakibat fatal, yaitu pembunuhan.
Bila kita melihat diturunkannya ajaran agama, yang maksudnya adalah untuk menyejahtrakan manusia, maka manusia hendaknya kembali kepada ajaran agama sebagai basis kehidupan. Manusia yang taat untuk mengamalkan ajaran agama, akan berhasil mengarungi samudra kehidupan dengan berbagai gelombangnya, apakah dahsyat atau lembut. Seorang yang berhasil meniti gelombang kehidupan adalah ibarat seorang peselancar yang mahir, sesekali tenggelam dihantam gelombang, namun tidak lama kemudian ia tersenyum riang di atas alunan pasang.
Kehidupan modern yang sekuler dan bahkan ada sebagian masyarakat yang hedonist mengantarkan umat manusia pada kehancuran dan hal ini semakin nyata pengaruhnya dewasa ini. Bagaimanakah aktualisasi agama dalam konteks perubahan sosial (perspektip agama Hindu)?  Solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut kiranya dikaji secara seksama, sehingga agama Hindu sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan kepada umatnya.
Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
Visnu Puràna, sebagai berikut :                   

                         “Masyarakat hancur karena  harta  benda  hanya berfungsi meningkatkan
                         status sosial/kemewahan bagi seseorang,materi menjadi dasar kehidupan
                         kepuasan  hidup  hanyalah  kenikmatan  seks antara laki-laki dan wanita,
                         dusta menjadi  sumber kesuksesan hidup.   Seks merupakan satu-satunya
                         sumber  kenikmatan  dan  kesalahan  merupakan  hiasan  bagi kehidupan
                         spiritual.
 Visnu Puràna IV. 24. 21-22.

Demikian pula di dalam kitab Vànaparva, Mahàbhàrata keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut :

                        “Pada  jaman  Kaliyuga  para  Brahmana  tidak  lagi melakukan upacara 
                         yajña dan mempelajari kitab suci Veda.  Mereka meninggalkan tongkat   
                         dan  kulit  menjangannya  dan  menjadi  pemakan segala (sarvabhàkûa).     
                         Para  Brahmana  berhenti  melaksanakan  pemujaan  dan  para   Sudra
                         menggantikan hal itu (32-33)”.

                         “Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi
                         oleh wanita yang reputasinya jelek. Setiap perempuan bertengkar/bermu-
                         suhan dengan suaminya dan tidak memiliki sopan santun (42)”

                         “Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan
                         menerima sedekah dari para pemimpin yang tidak jujur (43)”

                         “Pada  jaman  itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai
                         moralitas, mereka kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan
                         penyiksaan walaupun di tempat tidur gurunya. Mereka sangat terikat oleh
                         keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging
                         dan darah (48)”

                         “Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang
                         berdosa dan orang-oranng angkara murka yang malang yang selalu me-
                         ngabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)”

                         “Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatan
                         nya karena mereka  iri  hati  dan  dengki.  Bumi  ini dipenuhi oleh orang-
                         orang yang penuh dosa dan tidak bermoral (51)”.
                        
                         “Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk peni-
                         puan, menjual barang - barangnya  dengan  ukuran dan timbangan yang
                         tidak benar (53)”.
                     
                         “Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umur-
                         nya pendek. Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memi-
                         liki umur panjang (55)”.

                         “Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan
                         anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)”.

                         “Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah
                          itu ajalpun menjemput (61)”

                         “Para wanita mudah celaka,  melakukan perbuatan yang tidak pantas dan
                         melakukan  perbuatan  yang  tidak  terpuji,  menipu suami-suami mereka
                         yang berbudi pekerti luhur, melupakan  mereka bahkan berhubungan de-
                         ngan pelayannya dan atau dengan binatang sekalipun (63)”

                                Vànaparva, CLXXXVIII.

Lebih jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nìtiúàstra yang rupanya merupakan saduran dari Cànakya Nìtisàstra dalam bahasa Sanskerta dinyatakan sebagai berikut :    
                       “Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan
                       /harta benda yang sangat dihargai.   Tidak  perlu  dikatakan  lagi,  bahwa
                       orang yang saleh, orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang
                       orang yang kaya. Semua ajaran rahasia kepanditaan lenyap,     keluarga-
                       keluarga dan para pemimpin yang bijaksana menjadi hina papa.    Anak-
                       anak menipu dan mengumpat  orang  tuanya.    Orang-orang  hina  akan
                       menjadi  saudagar kaya (memperoleh  kekayaan  dengan  jalan curang),
                       mendapat kemuliaan dan kepandaian”.
Nìtisàsta IV.7.

Bila nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali lebih menekankan pleasure oriented , maka hal itu akan mudah ditinggalkan.

Ajaran Kepemimpinan Dalam Kakawin Gajah Mada.4

Simpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut:
1)    Ajaran kepemimpinan dalam KGM menyangkut taktik dan strategi yakni kemampuan Gajah Mada untuk menarik simpati masyarakat lingkungan, mahapatih, dan raja Majapahit yang ditunjukkan dengan kerja keras membuka ladang pertanian, memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh mahapatih, dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh Kerajaan Majapahit, yakni dengan menghilangkan sumber bahaya kelaparan yang menimpa Kerajaan Majapahit, yang disebabkan oleh raja Bali yang kepalanya kepala babi (Bedhahulu atau Bedhamukha).
2)    Ajaran kepemimpinan dalam KGM lebih menekankan pada profil pemimpin meliputi sepuluh butir ajaranan kepemimpinan, yaitu: (1) pemimpin rajin sembahyang, (2) menjadi pelopor  dan memiliki wawasan ke depan, (3) mampu memberi semangat /motivasi bekerja keras, (4) ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, dan hatinya terbuka, (5) mampu menarik simpati, cerdas, dan kreatif, (6) sopan dan ramah, (7) senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, (8) melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan, (9) gagah berani, bertanggungjawab, tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, dan tunduk kepada aturan (hukum), (10) menghormati orang yang arif bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan samadhi.
3)    Pola kepemimpinan masyarakat Hindu di Bali mencerminkan ekspresi pengamalan ajaran kepemipinan yang termuat dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu terutama yang dituangkan dalam karyasastra Jawa Kuno seperti: catur guru bhakti, astabrata, tri hita karana, dan sebagainya yang mengkristal dalam ajaran kepemimpinan dalam KGM tersebut di atas.

Penutup

Demikian ajaran kepemimpinan dalam KGM dilihat dari perspektif pola kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali yang bersumber pada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Tentunya penelitian ke arah yang mendalam terhadap topik tersebut di atas masih terbuka lebar untuk dilaksanakan. Dalam kepemimpinan Bali ke depan, pemimpin yang diamanatkan dalam Veda dan susastra Hindu, termasuk dalam KGM sangat diperlukan, terutama yang memiliki wawasan keilmuan dan pandangan jauh ke masa yang akan datang.

Ajaran Kepemimpinan Dalam Kakawin Gajah Mada.3

 Perspektif  Model Kepemimpinan Hindu dalam Masyarakat Bali

Seperti telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud adalah seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa, ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung, pengukir, dan seorang arsitek tradisional. Beliau menyelesaikan penyusunan KGM pada tanggal 10 November 1958. Dari 67 wirama, pupuh atau bait KGM beliau mengajukan 10 butir ajaran kepemimpinan yang rupanya beliau petik dari berbagai sumber sastra Kawi  yang dijadikan sebagai referensinya.

Sesungguhnya sebagai seorang seniman, dari keluarga raja, maka merupakan kewajiban untuk membaca karya sastra Kawi atau Jawa Kuno yang di dalamnya sangat kaya dengan berbagai ajaran.  Dari khasanah karyasastra Kawi atau naskah yang tersimpan di Bali, telah banyak dilakukan pengelompokan, di antaranya oleh Kadjeng (1929), Pigeaud (1967), dan terakhir oleh I Wayan Cika (2006:4) sebagai berikut: (1) Arsitektur yang terdiri dari: Hasta Kosala, Hasta Kosali, Hastabhumi, Dharmaning Sangging; (2) Lelampahan (lakon atau cerita yang dipentaskan); (3) Kesusastraan seperti: Parwa, Kakawin, Kidung, Gaguritan, dan Parikan; (4) Usada (pengobatan); (5) Sejarah & Mitologi seperti Babad, Pamancangah, Usana, Uwug; (5) Agama & Etika seperti Weda, Mantra, Puja, Kalpasastra, Tutur, Sasana, dan Niti.

Penyair KGM rupanya telah membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali di atas, hal itu tampak mengkristal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran tersebut sangat ideal, namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wawira dan Pasung Rigis. Dalam khasanah sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentunya mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan oleh Gajah Mada.

Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa dengan sistem Majapahit di Bali tentunya merubah tatanan sistem kepemimpinan kelogial yang dikenal dengan sistem Maulu-Apad yang umumnya berlaku di Bali pegunungan, yang tampaknya sangat demokratis, karena setiap orang bila melakukan swadharmanya dengan benar, pada saatnya ia akan duduk sebagai seorang pemimpin dalam komunitasnya. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan sistem yang diterapkan pada zaman Bali Kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat Senapati I Kuturan, yang kemudian lebih populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah adanya sistem pamarajan, banjar, kahyangan tiga, dan subak. Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.

Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah karya sastra Kawi atau Jawa Kuno dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model kepemimpinan Hindu di Bali.

Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota patuh pada pemimpinnya.             
Sebenarnya ajaran kepemimpinan Hindu, khususnya di Bali telah memasyarakat, di antaranya ajaran Catur Guru Bhakti, yakni berbakti kepada empat jenis guru yang terdiri dari:
1)    Guru Rupaka atau Guru Rekha, yakni orang tua, ibu bapak.
2)    Guru Pangadyayan  atau Pangajian, yakni para guru yang memberikan pendidikan.
3)    Guru Wisesa, yakni pemerintah yang memberikan perlindungan dan kemakmuran masyarakat
4)    Guru Svadhyaya, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru tertinggi (Paramestiguru).
Dengan memahami dan patuh keempat guru tersebut di atas sebenarnya setiap umat Hindu telah melaksanakan ajaran kepemimpinan. Demikian pula di rumah atau di luar pendidikan sekolah, di sekolah dan bahkan kepada pemerintahpun, seorang anak atau anggota masyarakat dituntut untuk patuh kepada empat guru  tersebut di atas. Persoalannya lebih jauh apakah ajaran atau konsep kepemimpinan Hindu hanya terbatas pada ajaran Catur Guru Bhakti itu? Ataukah ada ajaran-ajaran kepemimpinan lainnya yang perlu digali dan apakah ajaran Agama Hindu mampu mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam era globalisasi dengan kecenderungan material oriented-nya. Bagaimana fungsi-fungsi kepemimpinan Hindu itu sebenanya dan apakah seseorang menjadi pemimpin itu karena dilahirkan atau karena diciptakan dan lain-lain  permasalahan yang patut kita kaji dalam kesempatan terbatas ini.

Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah adhipatyam atau nayakatvam. Kata adhipatyam berasal dari adhipati sedang nayakatvam dari kata nayaka, kedua kata dari kosa kata bahasa Sanskerta ini berarti pemimpin. Untuk memahami konsep kepemimpinan, tipologi, fungsi dan asal-usulnya, pada kesempatan yang terbatas ini penyusun mencoba mengkaji dari sumber pustaka yang ada terutama dari sumber primer yakni kitab suci Veda dan susastra (pustaka) Hindu lainnya seperti Ramayana, Mahabharata dan sebagainya.                  

Di samping kata adhipati dan nayaka yang berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang pemimpin, yaitu raja, maharaja, prabhu, ksatriya, svamin, isvara dan  natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal istilah ratu atau datu, sang wibhuh, murdhaning jagat dan sebagainya yang mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun secara terminlogis terdapat beberapa perbedaan.

Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena itu selalu relevan dengan perkembangan masyarakat. Nilai-nilai kepemimpinan dalam ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber filsafat, etik dan moral, tetapi juga nilai-nilai  spiritual yang luhur untuk mencapai tujuan tertinggi berupa kebahagiaan lahir dan batin.

Nilai-nilai atau konsep-konsep kepemimpinan Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra, Dharmasastra termasuk pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata dan kitab-kitab Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan lain-lain.

Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa mantra yang menyangkut ajaran kepemimpinan antara lain :
1)    Seorang pemimpin berasal dari warga negara (Yajurveda XX.9).
2)    Warga negara yang merupakan satu kesatuan dalam berbangsa adalah anggota badan  seorang pemimpin (Yajurveda XX.8)
3)    Seorang pemimpin melindungi warganya tanpa menyakiti mereka (Yajurveda XIII.30).
4)    Kami memilih seorang pemimpin untuk memperoleh makanan dan mengentaskan kemiskinan dan kesejahtraan yang berlimpah (Yajurveda X.21).
5)    Seorang pemimpin atas rakhmatnya melindungi masyarakatnya (Yajurveda XXX.5).
6)    Seorang pemimpin tidak pernah sedih, ia senantiasa berbuat jujur (Rigveda V.34.7)
7)    Seorang pemimpin membuat kita sejahtra dan melindungi cendekiawannya (Rigveda I.54.11).
8)    Marilah kita semua orang dari segala penjuru mendatangi pemimpin untuk melenyapkan semua penderitaan (Yajurveda VI.36).
9)    Semogalah masyarakat memperoleh kesejahtraan/kebahagiaan karena pemimpinnya (Yajurveda XI.28).
10)    Wahai pemimpin! Usahakanlah semua wargamu berbahagia, berikan kesejahtraan dan tolonglah mereka (Sàmaveda,971)
11)    Wahai Pemimpin! Datangilah masyarakat dan bebaskanlah mereka dari penderitaan (Samaveda, 753).
12)    Kami semua patuh dan taat kepada semua peraturan pemimpin/pemerintah (Rigveda VIII.25.16).
13)    Semua golongan dalam masyarakat memuji pemimpinnya atas perhatiannya yang baik terhadap kesejahtraan warganya (Rigveda V.37.4).
14)    Wahai Pemimpin! Bertindaklah untuk kesejahtraan masyarakatmu dan keabadian namamu (Atharvaveda XIII.1.34).

Selanjutnya di dalam Arthasastra karya maharsi Kautilya atau Chanakya (VI.1.2-6) dinyatakan enam sifat atau disiplin hidup yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1)    Abhigamika, seorang pemimpin dapat menarik simpati rakyatnya, karena itu ia harus berorientasi ke bawah, mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
2)    Prajña, seorang pemimpin hendaknya cerdas, arif dan bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan seni kepemimpinan serta memiliki daya analisa yang tajam dengan pandangan yang jauh ke depan.
3)    Utsaha, seorang pemimpin hendaknya mampu mengambil inisiatif, oleh karena itu ia harus aktif, innovatif dan menjadi pelopor dalam mengembangkan kreativitas masyarakat untuk maju.
4)    Atmasampad, seorang pemimpin hendaknya memiliki integritas pribadi, memiliki moral yang luhur, segala tingkah lakunya terpuji dan patut menjadi teladan masyarakat.
5)    Sakhyasamanta, seorang pemimpin mampu mengawasi bawahannya, dengan demikian segala kebijaksanaan yang telah ditetapkan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
6)    Aksudraparisakta, seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk memadukan pendapat yang saling berbeda dalam suatu permusyawaratan. Pemimpin seharusnya menguasai teknik dan seni mempertemukan pendapat-pendapat yang saling berbeda. Kepandaian pemimpin dalam berdiplomasi ini akan mengantarkan sukses kepemimpinannya.

Masih banyak  ajaran kepemimpinan dapat kita jumpai  dalam kitab suci Veda maupun Arthasastra yang tidak terungkapkan pada kesempatan ini. Di samping kitab suci Veda dan Arthasastra dalam kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab Purana. Dalam Ramayana, ajaran Sri Rama sangat dipuji oleh maharsi Walmiki. Pada bagian manggala dari kakawin itu diuraikan bagaimana kepemimpinan Sri Rama yang sangat termashur dan relevan untuk dipelajari dan dikembangkan dewasa ini. demikian pula ajaran kepemimpinan dalam Mahabharata ke XIII, yakni kitab Anusasanaparva, hampir seluruh buku mengajarkan ajaran kepemimpinan Hindu yang sangat ideal merupakan wejangan dari maharsi Bhisma, ketika menunggu ajal di atas tempat tidur dari anak panah. Ajaran kepemimpinan yang diwejangkan kepada Dharmawangsa itu juga sangat relevan dan patut untuk dijadikan pedoman oleh para pemimpin.

Membahas model kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dengan tipologi kepemimpinan, kepemimpinan Hindu menyangkut ajaran moral yang tentunya nampak seperti adanya dua kutub yang berlawan atau seperti warna hitam-putih, benar-salah, baik dan buruk, walaupun dalam kenyataannya tidak ada seorang manusia atau pemimpin yang benar-benar seratus persen baik atau sebaliknya. Secara psikologis sifat manusia, seperti di sebutkan dalam kitab suci Bhagavadgita bahwa manusia memiliki dua kecenderungan atau sifat, yaitu :
1)    Daiwi Sampat, sifat kedewataan (Madhawa), yakni segala sifat yang baik, jujur, benar,  terpuji dan sejeninya.
2)    Asuri Sampat, sifat keraksasaan (Danawa), yakni segala sifat yang buruk, kasar, rakus tidak jujur, serakah dan yang sejenisnya.

Atas dasar dua sifat atau kecendrungan manusia (Manawa) seperti tersebut di atas, maka kepemimpinan Hindu tentunya mengikuti tipologi kecenderungan manusia, yaitu tipologi kepemimpinan Hindu yang ideal digambarkan sebagai kepemimpinan para dewa (Daiwi Sampat) di bawah maharsi agung Wrihaspati yang bulat, utuh, demokratis dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat  dan kemanusiaan, tegaknya agama, moral dan hukum serta berusaha tiada hentinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Perhatikan nasehat Sri Rama kepada adiknya Bharata dalam Kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno). Sebaliknya tipologi kepemimpinan Hindu yang tidak patut dicontoh dan seharusnya ditinggalkan oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang sangat dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan Asuri  Sampat, yaitu rakus, diktator, otoriter tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan rakyat di bawah pimpinannya.

Bila kita mengkaji nama-nama atau istilah secara terminologis, semantik atau etimologis kita sebenarnya sudah mendapatkan gambaran tentang fungsi-fungsi kepemimpinan itu, misalnya kata raja, dari urat kata raj yang artinya menggerakkan. Maharaja artinya pemimpin besar yang mampu menggerakkan (massa). Prabhu artinya yang terkemuka, memimpin, membimbing atau yang paling berani mengambil tanggung jawab bagi anggotanya. Ksatriya atau rajanya artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan. Svamin menjadi kata suami dalam bahasa Indonesia artinya yang mempimpin, tuan (master, lord) atau  yang menguasai dirinya sendiri. Isvara artinya yang tertinggi, yang paling menonjol atau yang paling berkuasa, natha artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan. Ratu dan datu artinya hampir sama dengan kata raja sedang murdhaning jagat, artinya tampuk pimpinan dari masyarakat.

Berdasarkan tinjauan terminologis, etimolis dan semantik serta berdasar kutipan-kutipan terjemahan mantra Veda dan terjemahan sloka-sloka kitab Arthasastra maka dapat dirumuskan  fungsi-fungsi kepemimpinan dalam Hindu atas dua jenis fungsi, yaitu:
1)    Melindungi masyarakat, memberikan rasa aman, bertanggung jawab serta memberikan bimbingan kepada warganya untuk turut mewujudkan rasa aman dan tentram dikalangan mereka (fungsi security).
2)    Mewujudkan kemakmuran bersama-sama anggota masyarakat untuk mewujudkan kesejahtraan, kemakmuran dan melepaskan pederitaan masyarakat lahir dan batin (fungsi prosperity).

Kepemimpinan yang berlandaskan ajaran Agama Hindu tentunya dapat mengaktualisasikan ajaran Agama Hindu. Untuk itu fungsi-fungsi agama bagi kehidupan manusia harus disadari dan dipahami oleh seorang pemimpin, sebab membahas kepemimpinan Hindu tidak dapat melepaskan diri untuk tidak mengkaji ajaran Agama Hindu.  Dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, agama dan juga pemimpin atau kepemimpinan mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1)    Sebagai factor motivatif, mendorong, mendasari, melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
2)    Sebagai faktor kreatif, produktif dan innovatif, mendorong dan mengharuskan untuk tidak hanya melakukan kerja produktif saja, tetapi juga kreatif dan innovatif.
3)    Sebagai faktor integratif, memadukan segenap aktivitas manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Keyakinan dan penghayatan terhadap ajaran agama akan menghindarkan manusia dari situasi dan kepribadiannya yang pecah. Dengan keutuhan kepribadiannya itu manusia akan mampu menghadapi berbagai macam tantangan dan resiko kehidupan.
4)    Sebagai faktor sublimatif atau transformatif, mampu mengubah sikap dan prilaku, perkataan maupun perbuatan sesuai sesuai dengan ajaran agama.
5)    Sebagai faktor inspiratif, memberikan inspirasi bagi pengembangan seni dan budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu.

Tentunya fungsi-fungsi kepemimpinan itu akan lebih kompleks bila dikaitkan dengan berbagai jenis atau tipologi kepemimpinan yang bersifat spesifik. Di dalam kitab suci Veda diamanatkan bahwa seorang pemimpin bagaikan Dewa Indra dan Soma (Rigveda II.16.2, VII.104.3), seorang pemimpin bagaikan Dewa Agni (Yajurveda XIII.1, XII.7) yang kemudian di dalam kitab Manawadharmasastra (IX.303-311) dikembangkan menjadi delapan dewa yang memasuki tubuh seorang pemimpin, yaitu dewa-dewa penjaga alam, yakni Dewa Soma (Candra), Dewa Agni, Dewa Surya, Dewa Wayu, Dewa Kuwera, Dewa Indra, dan Dewa Yama. Fungsi atau sifat dari delapan dewa-dewa ini kemudian di dalam Kakawin Ramayana  dikenal dengan ajaran kepemimpinan Astabrata seperti telah disebutkan di atas.

Lebih jauh, asal-usul seorang pemimpin sebenarnya telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) yang secara jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara atau rakyat. Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah  benar-benar memiliki kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan bakat dan kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut dengan warna. Kata warna dari urat kata wri yang artinya pilihan bakat dari seseorang. Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut ksatriya, karena kata ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah seorang brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, petani, nelayan dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka seorang dapat menjadi pemimpin disebabkan oleh beberapa hal
1)    Karena memiliki bakat sejak kanak-kanak sudah menonjol sifat dan prilaku kepemimpinannya. Ketika dewasa otomatis dia akan menjadi seorang pemimpin yang handal. Bila seseorang karena direkayasa untuk menjadi pemimpin dan tidak berdasarkan bakat dan kemampuannya, maka walaupun ia dipaksakan menjadi seorang pemimpin, kepemimpinannya akan kelihatan lembek, melempem, loyo dan tidak memiliki aktivitas apapun.
2)    Seorang pemimpin muncul di samping karena bakat, situasi tertentu juga memaksakan kelahiran seorang pemimpin. Pemimpim yang demikian akan sukses bila ia memiliki bakat dan kemampuan untuk itu. Dengan kecerdasan yang dimiliki serta mengembangkan sikap ingin terus belajar, maka pemimpin yang mendapat kesempatan untuk memimpin akan selalu berhasil membimbing warganya.

Keberhasilan seseorang pemimpin disebabkan karena ia memiliki  kemampuan untuk  mengatasi berbagai tantangan, mengingatkan kepada ceritra Ganesa ketika baru bertempur ke medan perang. Justru semakin dipukul oleh musuhnya tubuh Ganesa semakin besar dan kuat dan akhirnya patahan taringnya sendiri mampu mengatasi berbagai rintangan.

Ajaran Kepemimpinan Dalam Kakawin Gajah Mada,2

Mitos dalam Kakawin Gajah Mada

Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuklah berbagai mitos tentang dirinya. Fraser berpendapat bahwa pada hakekatnya, pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja semua gejala yang ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Orang terus-menerus mencari yang tersirat di belakang sesuatu, sehingga terjadilah sebuah mitos. Locher berpendapat bahwa mitos hidup dalam suatu kelompok yang merujuk pada kejadian-kejadian yang sekaligus berhubungan dengan masa lampau, sekarang dan yang akan datang. Dengan penekanan yang berbeda-beda, ada yang lebih peka terhadap masa lampau, ada pula untuk masa sekarang atau masa yang akan datang. Itulah kekhasan yang membuat mitos itu mempunyai sifat ganda, sekaligus berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Ia tidak mempersoalkan benar tidaknya mitos itu, sebab mitos itu seperti kepercayaan lainnya mungkin saja tidak benar, tetapi mungkin juga benar karena itu sebuah mitos. Mitos itu dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam masyarakat di mana mitos itu hidup (Partini, 1986:11). Menurut Nurgiyanto (Cika, 2006: 24) mitos merupakan penerusan tradisi. Tradisi yang menguatkan  disebut pengukuhan tradisi (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of freedom). Kedua hal ini dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.  Demikian dalam KGM tidak hanya mitos tentang Gajah Mada yang ditampilkan, juga mitos-mitos lainnya sebagai tokoh antagonis yang perlu dikaji dalam tulisan ini. Mitos-mitos tersebut antara lain:

1)    Gajah Mada sebagai keturunan Dewa Brahma (…..mahyun mrakertang Dhatrasuta teher mahaknang guritnireka (KGM 1.2b: ingin memuji putra Dewa Brahma (Gajah Mada) kemudian mengagungkannya dalam bentuk kakawin). Dari larik di atas, oleh penyair KGM Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang yang digjaya (a)nindyeng sarat (KGM 1.2c: yang jaya tidak tercela di seluruh dunia). Sebagai tokoh protagonis digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu memasukan dewa-dewa  kahyangan ke dalam tubuhnya (37.14-18), seperti ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Astabrata yang diungkap dalam kakawin Ramayana.

Sumber ajaran kepemimpinan Astabrata ini adalah kitab Manawadharmasastra IX.303-311 (Pudja & Sudharta, 2002:607-609) dan bukan Ramayana karya Walmiki. Demikian pula  Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa Asmara yang tampan dan cemerlang (37.3-5). Partini  Sarjono Pradotokusumo (1986:59) menyimpulkan penggambaran tokoh Gajah Mada dalam KGM adalah sebagai berikut: (1) Tokoh yang pada mulanya ‘datar’ sesuai dengan the epic divine hero, namun dapat membuat kejutan dengan memperlihatkan sifat-sifat yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira; (2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai mahapatih kerajaan Majapahit; (3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja; (4) kejayaan batin didapatnya berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran  yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju kelepasan. Muhamad Yamin (Partini, 1986:1253) menyatakan  secara meyakinkan bahwa Gajah Mada adalah seorang-orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana ke atas dunia. Pandangan Mohamad Yamin tersebut tidaklah salah, karena di dalam Agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol umumnya diambil dari sifat Dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dari penjelmaan awatara-awatara-Nya dalam setiap zaman.

2)    Tokoh protagonis lainnya adalah Sri Kepakisan dan istrinya yang ditampilkan dalam mitos kelahiran dua anak, pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah Mada (44.8).  Terjadinya perkawinan incest atau kembar dampit (kembar buncing) di kalangan para bangsawan dianggap sangat utama karena penjelmaan manusia utama, sedang bila itu terjadi di kalangan orang kebanyakan (orang jaba atau di luar tri wangsa) dianggap aib yang dapat menyengsarakan masyarakat. Perkawinan tersebut disebut Asupundung dan Alangkahi Karanghulu. Tentang kelahiran buncing dan perkawinan di atas, pada tanggal 12 Juli 1951 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali memutuskan dua buah keputusan penting berkaitan dengan hal tersebut, yakni Keputusan Nomor 10 Tentang penghapusan adat yang berkaitan dengan seseorang yang melahirkan anak kembar buncing (kembar laki-laki dan perempuan), dan Nomor 11 Tentang penghapusan perkawinan Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu, yakni perkawinan antara laki-laki dari Sudrawangsa dengan istri dari Brahmanawangsa dan antara laki-laki dari Sudrawangsa dengan istri dari Ksatriyawangsa. Keputusan DPRD Bali ini mencabut Paswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan Lombok tertanggal 11 April 1927 No.352 Jl.C.2 tentang Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu. Keputusan DPRD Bali tahun 1951 baru mendapat pengukuhan kembali dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui Bhisama Sabha Pandita Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 20 Oktober 2002 Tentang Pengamalan Catur Warna sesuai dengan kitab suci Veda dan susastra Hindu (Dana, 2005:149).

3)    Tokoh antagonis dalam KGM yang pertama disebutkan adalah Raja Masula-Masuli yang lahir atas perkenan Dewa Indra. Ia disebut sebagai keturunan raksasa yang buas dan tamak, musuh dari orang-orang saleh. Ia adalah ayah dari Gajah Waktra (Gajah Wahana) yang kemudian disebut Bedhahulu. Tokoh antagonis umumnya selalu dikaitkan dengan kelahiran dari keturunan orang jahat atau raksasa.

4)    Tokoh antagonis lainnya sebagai lawan dari Mahapatih Gajah Mada adalah raja Bali yang disebut Bedhahulu atau Bedhamukha. Raja Bali mengadakan latihan perang. Kepala raja pagi hari dipotong, melesat ke angkasa, sore hari kembali bersatu dengan badannya (45.8-11). Latihan perang bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu Anyar latihan perang dilanjutkan. Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun sampai sore kapalanya itu belum juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian diganti dengan kepala babi hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian tinggal di menara yang tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9). Raja ini digambarkan sangat bengis, namun akhirnya ia juga mencapai kelepasan menuju sorga (50.10). Bedhahulu atau Bedhamukha tentunya mengandung makna sebagai orang yang tidak tunduk kepada raja Majapahit.

5)    Kebo Wawira (Kebo Iwa) digambarkan sebagai orang yang mukanya buas, badannya besar dan tinggi, bagaikan Kumbhakarna yang gagah, congkak, badannya kuat perkasa (51.60).

Tokoh protagonis pada umumnya selalu digambarkan sangat tampan, cerdas dan berbudi pekerti luhur, sebaliknya tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang tidak tampan, jahat, bodoh, licik, dan tidak memiliki budi pekerti yang luhur. Hal ini adalah wajar dan merupakan konvensi dalam karyasastra sejak diturunkannya kitab suci Veda, dituliskannya kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab Purana. Penggambaran para dewa dan raksasa, perwujudan dharma dengan adharma, senantiasa diekspresikan melalui tokoh-tokoh yang tampan dan buruk, seperti Rama, Krisna, Arjuna, yang bertentangan dengan Rawana, Duryodhana, Dussasana, dan sebagainya.

Ajaran Kepemimpinan dalam Kakawin Gajah Mada

    Ajaran kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga bagian akhir dari karyasastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya:
1)    Senantiasa rajin sembahyang dan bermeditasi  atau samadhi (17.5). Digambarkan bahwa sejak anak-anak Pipil Mada atau Gajah Mada suka melaksanakan sembahyang dan meditasi.  Meditasi dilakukan pada malam hari dan sering mendapat vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari Dewa Brahma, ayah spiritualnya.

2)    Menjadi pelopor  dan memiliki wawasan ke depan, terutama dalam membuka ladang Trik (18.1). Gajah Mada digambarkan selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras di antara teman-teman sebayanya.

3)    Mampu memberi semangat dalam melaksanakan kerja keras dan berat terutama dalam memajukan sistem pertanian (18.8, 22.4). Gajah Mada digambarkan mampu memberi motivasi kepada sesamanya. Karismanya tampak yang sejak anak-anak, kemana Pipil Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya (13.8). Para gembala senantiasa menuruti apa yang diperintahkan Pipil Mada (17.3).

4)    Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka,  dan kata-katanya manis bagaikan air kehidupan (20.7-10). Dalam berbagai kesempatan digambarkan Gajah Mada dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan pemimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya.

5)    Mampu menarik simpati, cerdas, dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada baru pertama kali mengabdikan dirinya di istana mahapatih Majapahit yang sudah mulai tua (Arya Tadah?) dan kemudian ia dikawinkan dengan putrinya bernama Dyah Bebed (30.1-14, 31.1-12, 32.1-6). Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli Raja Bedhahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumannya satu bumbung legen, ia bersedia makan di hadapan raja (50.1). Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apa lagi saat yang bersangkutan menikmati makanan (humadang ri ajengira sri haji kang  bhojana).

6)    Sopan dan ramah (49.6). Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira dan Pasung Rigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh Raja Jawa  yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut (49.7-10).  Karena penampilannya yang sangat sopan dan ramah, akhirnya Kebo Iwa mudah ditipu oleh Gajah Mada.

7)    Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yajña (66.2-3).

8)    Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan (66.4-7).

9)    Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggungjawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum), tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan atau yang berpangkat)(66.8-12).

10)    Menghormati orang yang arif bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan samadhi. (66.13).

ajaran kepemimpinan lewat kekawin gajah mada .1

Abstrak
ImageKakawin Gajah Mada, sebuah kakawin pada abad ke 20, selesai ditulis di Bali pada tanggal 10 November 1958, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kakawin ini menguraikan kejayaan Mahapatih Gajah Mada yang terkenal bijaksana. Penyair menggunakan berbagai sumber sebagai bahan penyusunan kakawin  ini, antara lain Babad Gajah Mada, Nagarakritagama, Pararaton, Cerita Rakyat Tentang Gajah Mada, Slokantara, Silakrama, dan lain-lain. Di dalam kakawin tersebut terdapat ajaran kepemimpinan di antaranya tentang profil pemimpin, kerja keras, visioner, cerdik, cermat, tipu daya, melenyapkan gangguan terhadap negara, pemimpin dan pandita melaksanakan fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva, mewujudkan kesejahtraan, melindungi seluruh wilayah negara, menumbuhkan kesadaran warga negara terhadap tegaknya hukum, mewujudkan kesucian pribadi melalui pertapaan, dan samadhi. Gajah Mada seorang negarawan besar dan ajaran kepemimpinan yang diajarkan dan diimplementasikan masih sangat relevan dewasa ini.
Kata Kunci
Kakawin Gajah Mada, Ajaran Kepemimpinan, dan  Model Kepemimpinan

Pendahuluan

Mahapatih Gajah Mada sangat populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mampu mempersatukan seluruh wilayah Nusantara yang meliputi kepulauan Madagaskar, Indonesia dewasa ini, sebagian Malaysia hingga ke Filipina Selatan. Salah satu karya sastra tersebut adalah Kakawin Gajah Mada (disingkat KGM) yang sudah dikaji dalam bentuk disertasi oleh Partini Sarjono Pradotokusomo dan sudah diterbitkan oleh Bina Cipta Bandung (1986) dengan topik Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin abad ke-20, Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks).

Di dalam KGM ditemukan berbagai taktik, strategi, profil pemimpin, dan ajaran kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada yang kiranya masih relevan untuk dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali, tentunya ada pula hal-hal yang negatif yang tidak patut diteladani. Pengarang kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud. Beliau seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa, ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung, pengukir, dan seorang arsitek tradisional.

Ajaran kepemimpinan dalam KGM seperti disebutkan dalam kolofon teks ini (67.2)  merupakan karya intertekstualitas: ‘tan pendah lawe  awuk slirih leseh ring sampiran ngamet, yeka inantun-antun ginawe tenun sigra pwa kadurus’ (Tak ubahnya benang tenun yang lapuk, koyak, dan lusuh di tempat gantungan, kemudian dirangkai menjadi tenunan, tentu saja putus). Berdasarkan kutipan tersebut, tulisan ini ingin mengungkapkan tentang ajaran kepemimpinan yang terkandung dalam KGM, serta pesan yang terkandung dari KGM tersebut, yang dikaji melalui teori hermeneutik dan intertekstualitas.

Sinopsis Kakawin Gajah Mada

Pada bagian awal KGM, sebuah manggala (1.1-3) yang ditujukan kepada Bhattara Dhatra (Brahma). Diceritakan kehidupan pandita suami istri bernama Sura Dharma dan Nari Ratih yang tinggal di wilayah Wilatikta yang berguru kepada pandita Hangga Runti. Kedua siswa pandita ini diwisudha untuk mengikuti disiplin sebagai Sewala Brahmacari. Ketika Pandita Sura Dharma pergi meninggalkan pertapan untuk mengambil air minum, saat itu datang Dewa Brahma yang menyamar menyerupai wujud Pandita Sura Dharma yang merayu dan memperkosa Pandita Nari Ratih (1.4-8, 2.1-6, 3.1-8, 4.1-12, 5.1-10, 6.1-8, 7.1-10, 8.1-10, 9.1-10, 9.1-8). Kegagalan suami istri untuk melaksanakan disiplin Sewala Brahmacari mengakibatkan kekecewaan yang mendalam kedua suami istri tersebut yang mengakibatkan Pandita Nari Ratih hamil besar. Kemudian mereka berdua mengembara melakukan penyucian diri dan perjalanannya memasuki Desa Mada. Di depan pelataran (babaturan) sebuah pura tempat memuja Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga dan Gangga di desa ini Nari Ratih melahirkan seorang anak laki-laki (10.1-15). Anak itu ditinggalkan di pura tersebut, dan Pandita  Sura  Dharma dan istrinya kemudian mencapai kesempurnaan/nirwana(11.1-12).

Seperti ada kekuatan yang menarik kepala Desa Mada untuk menuju lokasi bayi laki-laki yang ditinggalkan oleh Pandita Sura Dharma dan istrinya yang tampak malam itu menyala bagaikan api yang membakar pura Dewa Siwa tersebut. Kemudian bayi itu dipungut dan dijadikan anak angkat yang kemudian anak itu menunjukkan sopan santun , mempesona dan menimbulkan simpati yang mendalam dan anak itu diberi nama Pipil Mada (13.1-8). Setelah anak itu remaja, ia diijinkan mengembalakan lembu. Ia bersama teman-teman sebayanya mengembalakan lembu di padang Kumalawati, di tepi sungai  yang airnya deras dan jernih. Di tepi tempat pengembalaan itu terdapat sebuah  candi, yang indah dengan taman bunga yang sedang mekar berbunga(15.1-9).  Pipil Mada mengajak teman-temannya untuk membuka sebidang tanah yang luas dan membukanya menjadi tanah pertanian (16.1-8). Tanah yang dijadikan ladang tersebut bernama tegal Trik, dan karena kemampuan Pipil Mada, tanah tersebut diubah menjadi tanah pertanian yang subur yang dibagi-bagi kepada para gembala (18.1-11). Tanah yang tadinya kering dan tidak subur diubah menjadi tanah pertanian yang subur, penuh dengan aneka tanaman umbi-umbian dan buah-buahan. Demikian pula aneka bunga tumbuh berkembang banyak orang yang kagum menyaksikan perubahan yang luar biasa tersebut (19.1-8).

Atas keberhasilan tanah pertanian tersebut. Pipil Mada bersama para gembala berniat mempersembahkan hasil pertaniannya itu kepada  raja Majapahit (20.1-11).  Pipil Mada memimpin rombongan yang jumlahnya sampai seribu orang (22.1-8). Segera tiba di balairung keraton (23.1-8). Mereka diterima oleh perdana menteri (mahapatih) dengan senang hati yang keheranan terhadap kemampuan anak-anak gembala tersebut.  Sang mahapatih kemudian meninjau tanah ladang yang subur tersebut (24.1-12). Sang mahapatih melakukan berbagai ujian terhadap sikap dan mental para gembala di ladang tersebut antara lain berupa dijatuhkannya sebuah palu mas dan uang perak yang ditinggalkan di ladang. Pipil Mada kemudian menunjukan integritasnya dengan menghaturkan semua milik mahapatih itu, yang menyebabkan pemilik harta berharga tersebut tertegun kagum (25.1-15).  Pipil Mada sangat tekun sembahyang dan melakukan meditasi yang dilakukannya sejak masa kanak-kanak. Tiga hari kemudian mereka memimpin kembali para gembala ternak itu menghaturkan hasil bumi ke istana Majapahit (26.1-14). Cukup lama para gembala diterima di istana, dan mereka diuji untuk menangkap ikan dan Pipil Mada menunjukkan kemampuannya yang luar biasa yang pertama datang menghadap dengan ikan yang sangat banyak (27.1-14).

Pipil Mada sendiri diminta untuk tetap tinggal di istana mahapatih. Pipil Mada  menunjukan kemampuan dirinya yang luar biasa dan menyenangkan. Diceritakan disebuh pertapaan terjadi keributan akibat Banasakti, makhluk siluman yang pura-pura menjadi murid pandita tersebut. Pada saat pandita guru pergi mandi, tiba-tiba makhluk siluman itu berubah wujud menjadi pandita guru yang penampilannya sama seperti pandita yang asli. Kedua pandita itu merebut istri pandita asli. Pertikaian dua pandita itu sampai terdengar ke istana sang mahapatih. Pipil Mada menyampaikan saran kepada mahapatih dengan menguji mereka di istana dengan cara mengangkat besi yang berat (29.1-20). Tipu daya yang disampaikan Pipil Mada itu berhasil, ternyata pandita yang palsu adalah pandita sanggup memikul besi yang berat tersebut, dan pandita palsu tersebut  mati dibunuh (30.1-14, 31.1-12).  Mahapatih sangat senang kepada Pipil Mada yang disebutnya sangat arif dan mampu menyelamatkan dirinya, kemudian dinikahkan dengan putrinya, Dyah Bebed (32.1-6).

Pipil Mada di istana mahapatih menunjukan dirinya sebagai Dewa Asmara (37.3-5) yang kemudian mahapatih menyerahkan kekuasaannya kepada Pipil Mada sebagai dirinya. Pipil Mada memasukan dewa-dewa kahyangan dalam tubuhnya (37.14-18). Mertua Pipil Mada menasehati anak dan menantunya, menjadi putri yang setia mengikuti teladan Putri Madawi, putri Maharaja Jayati dan Pipil Mada mengikuti jejak Pandita Golawa yang sangat bakti kepada gurunya Wiswamitra. Dapat memberi perlindungan seperti Sang Garuda (40.1-13).  Raja Kala Gemet  menyetujui pengunduran ayah Dyah Bebed sebagai mahapatih dan menunjuk Gajah Mada sebagai mahapatih Kerajaan Majapahit (Wilatikta). Ketika Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih, seluruh raja (bawahan) tunduk kepada Majapahit, negara makmur dan sejahtra (41.7-42).   

Dhang Hyang Kepakisan memerintah di Majalangu (lukisan keindahan pemandangan). Kelahiran dua anak, pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah Mada. Kemudian Sri Kapakisan mempunyai empat orang putra, tiga laki-laki dan satu wanita. Raja Kala Gemet wafat meninggalkan dua putri (44.8). Sri Kresna Kapakisan menjadi raja Majapahit; Gajah Mada menjadi mahapatihnya (44.9-12).

Selanjutnya diceritakan kerajaan Bali. Asal-usul raja Bali (45.1-4). Pendirian benteng di Batu Anyar (45.5). Para patih raja adalah: Pasung Rigis di Tangkulak, Kebo Mayura (Kebo Iwo) di Karang Buncing. Tambyak di Jimbaran, Komang di Sraya. Dilukiskan persahabatan antara Pasung Rigis dan Kebo Mayura (45.6-7). Raja Bali mengadakan latihan perang. Kepala raja pagi hari dipotong, melesat ke angkasa, sore hari kembali bersatu dengan badannya (45.8-11). Latihan perang bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu Anyar latihan perang dilanjutkan. Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun sampai sore kapalanya itu belum juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian diganti dengan kepala babi hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian tinggal di menara yang tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9).

Gajah Mada di Majapahit mengadakan sayembara dua putri Kala Gemet (lukisan keindahan). Dyah Pusparaga dipersunting Pradita, putra raja Koripan, adiknya Ratna Puspacitrangsa diperistri Sukarsa, putra raja Gaglang (47.10-14). Kelahiran putra raja Koripan bernama Hayam Wuruk atau Smara Wijaya dan putra raja Gaglang bernama Jaya Tular aatau Smara Kajanta (48.1-5). Negara Majapahit sejahtera dengan Mahapatih Gajah Mada (46.8).

Terjadi peristiwa kelaparan di Majapahit (48.1-7). Raja Bali yang dituduh menyebabkan bahaya kelaparan tersebut (48.8). Gajah Mada didampingi oleh Gajah Para diutus ke Bali (48.8). Raja Bedhahulu atau Bedhamukha dan Kebo Mayura dicarikan siasat supaya dapat ditaklukan (48.9). Menuju ke kediaman Pasung Rigis dan Kebo Mayura (48.10-11). Gajah Mada meminta Kebo Mayura untuk bersedia dikawinkan dengan putri raja Majapahit (50.1-7). Kebo Mayura setuju dan minta izin kepada raja Bedhahulu (50.8). Gajah Mada dapat melihat wajah raja Bedhahulu. Kematian raja Bedhahulu (50.8-11). Gajah Mada dan Pasung Rigis ke Tangkulak (50.9-12). Pasung Rigis dilumpuhkan kesaktiannya (50.13-21).

Gajah Mada meneliti daerah yang strategis untuk persiapan perang (50.1-4). Jamuan makan di desa-desa sepanjang perjalanan (51.5-9). Kebo Wawira (Kebo Iwa) disuruh menggali sumur (51.10-12). Kebo Wawira mau dibunuh, tetapi tidak berhasil (51.13-52.6). Kebo Wawira dapat dibunuh dengan kapur  (52.7-11).

Laporan Gajah Mada di Majapahit bahwa memang benar raja Bali penyebab musibah dan kelaparan di Majapahit (53.1-54.2). Dilanjutkan dengan pengerahan bala tentara Majapahit akan menyerang Bali (54.3-55.5). Di lain pihak kerajaan Bali mempersiapkan tentaranya (55.6-8). Perang berkobar, Arya Damar berhadapan dengan Pasung Rigis dan patih Bedhahulu ini kalah dan berhasil dibunuh oleh Arya Damar (58.1-6).

Kemenangan berada pada bala tentara Jawa (59.1-5). Arya Damar menemui Gajah Mada di Mimba (59.6). Arya Damar salah paham (59.7-14). Di Bali  ada musuh berupa Raja Danawa (raja Balingkang) yang datang menyerang (60.1-6). Arya Kapakisan disuruh Gajah Mada melapor ke Majapahit (60.7-61.1). Pengerahan bala tentara dari daerah lain oleh Majapahit (61.2-6). Raja Majapahit  dan bala tentara tiba di Bali. Raja memberi wejangan pada bala tentara dan penyusunan siasat perang, kemudian perang berkobar (61.7-63.8). Gajah Mada dan Gajah Para kalah melawan Raja Danawa, dilanjutkan dengan Raja Kresna Kapakisan mengalahkan Raja Danawa (63.3-63.10).

Kemenangan ada pada pihak Majapahit. Pembagian wilayah kerajaan dengan raja Bhima di Pasuruhan, Juru di Blambangan, Kenceng di Tabanan, Senthong di Pacung, Bleteng di Penatih, Kutha Waringin di Kapal, Binculuk di Tegeh Kuri, Kapakisan di Bedhahulu, Blog di Kaba-Kaba. Raja mendirikan kerajaan di Samplangan (64.6-10). Penyerangan ke Sumbawa oleh putra Pasung Rigis (64.11-13).

Di Majapahit, Raja Kresna Kapakisan mengundurkan diri, penggantinya raja Hayam Wuruk dan Wengker. Gajah Mada mencegah mundurnya Raja Kapakisan, tetapi raja tetap pendirian. Dua raja memerintah dengan pendamping para patih, terutama Gajah Mada (65.1-10). Keadaan Majapahit yang makmur dan sejahtera. Keberhasilan Gajah Mada sebagai pendamping raja. Raja Majapahit yang arif bijaksana, penganut dan mengamalkan ajaran agama (66.1-13). Penutup dengan pernyataan kerendahan hati sang kawi, dan diakhiri doa sang kawi supaya karyanya berhasil (67.1-5). Dalam bagian penutup ini sang kawi memuja sang pencipta atas anugrahnya, yang dipuja melalui Omkara dan Acintya, sebagai Candrasiwa dan Diwangkara yang menghancurkan semua racun (bisa), dan menempatkan teratai Aditi pada kepala untuk memohon penyucian, yang senantiasa menyebarkan cahaya yang terang.