Senin, 24 Oktober 2011

Agama, Radikalisme dan Terorisme 2

Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan)  dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan  benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut.  Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun, melainkan  atas dasar bakat (guna) dan pekerjaannya (karma).  Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris. Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira.  Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran agama Hindu.
Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas  15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’ (aksi) berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Lebih jauh di dalam pasal 1  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa,
Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatas namakan agama seperti pengakuan  pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris (2005: 52) menyatakan,
Jalan Ksatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle)  adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan  dan ingin mengikuti jalan non kekerasan.  Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal  yang utama dari Ahimsa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahimsa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahimsa sebagai salah satu prinsip politik, Ahimsa dari para pejuang atau Ksatriya, yang diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan menjadi target  manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Ksatriya Ahimsa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rama dan Laksamana untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua.
Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional
Menanggulangi radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan benar-benar   dapat   ditingkatkan,   setidaknya  mengejar  ketertinggalan  dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan perang yang berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga terdekat Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di Malaysia terorisme dapat dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme di Indonesia adalah warga negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok negara, mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan lebih jauh, dan menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional dalam arti yang sesungguhnya.    Pendidikan agama yang merupakan bagian yang integral dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kebenaran dari masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini,  seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1)Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
2)Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
3)Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4)Shanti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5)Ahimsa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
Lebih jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu.
1)Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain.
2)Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
3)Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu komunitas yang tunggal.
4)Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan.
5)Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6)Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7)Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun.
8)Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9)Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan.
10)Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk.
Harapan
Semoga bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa yang silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6)  “Nowhere in the world do we find the country in which religion plays such an important role in the lives of people............... Wether they are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or Taoists, they have to believe in One God. There is no place for atheists”, dapat segera menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan agama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar