Senin, 24 Oktober 2011

Ajaran Kepemimpinan Dalam Kakawin Gajah Mada.3

 Perspektif  Model Kepemimpinan Hindu dalam Masyarakat Bali

Seperti telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud adalah seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa, ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung, pengukir, dan seorang arsitek tradisional. Beliau menyelesaikan penyusunan KGM pada tanggal 10 November 1958. Dari 67 wirama, pupuh atau bait KGM beliau mengajukan 10 butir ajaran kepemimpinan yang rupanya beliau petik dari berbagai sumber sastra Kawi  yang dijadikan sebagai referensinya.

Sesungguhnya sebagai seorang seniman, dari keluarga raja, maka merupakan kewajiban untuk membaca karya sastra Kawi atau Jawa Kuno yang di dalamnya sangat kaya dengan berbagai ajaran.  Dari khasanah karyasastra Kawi atau naskah yang tersimpan di Bali, telah banyak dilakukan pengelompokan, di antaranya oleh Kadjeng (1929), Pigeaud (1967), dan terakhir oleh I Wayan Cika (2006:4) sebagai berikut: (1) Arsitektur yang terdiri dari: Hasta Kosala, Hasta Kosali, Hastabhumi, Dharmaning Sangging; (2) Lelampahan (lakon atau cerita yang dipentaskan); (3) Kesusastraan seperti: Parwa, Kakawin, Kidung, Gaguritan, dan Parikan; (4) Usada (pengobatan); (5) Sejarah & Mitologi seperti Babad, Pamancangah, Usana, Uwug; (5) Agama & Etika seperti Weda, Mantra, Puja, Kalpasastra, Tutur, Sasana, dan Niti.

Penyair KGM rupanya telah membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali di atas, hal itu tampak mengkristal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran tersebut sangat ideal, namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wawira dan Pasung Rigis. Dalam khasanah sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentunya mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan oleh Gajah Mada.

Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa dengan sistem Majapahit di Bali tentunya merubah tatanan sistem kepemimpinan kelogial yang dikenal dengan sistem Maulu-Apad yang umumnya berlaku di Bali pegunungan, yang tampaknya sangat demokratis, karena setiap orang bila melakukan swadharmanya dengan benar, pada saatnya ia akan duduk sebagai seorang pemimpin dalam komunitasnya. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan sistem yang diterapkan pada zaman Bali Kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat Senapati I Kuturan, yang kemudian lebih populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah adanya sistem pamarajan, banjar, kahyangan tiga, dan subak. Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.

Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah karya sastra Kawi atau Jawa Kuno dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model kepemimpinan Hindu di Bali.

Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota patuh pada pemimpinnya.             
Sebenarnya ajaran kepemimpinan Hindu, khususnya di Bali telah memasyarakat, di antaranya ajaran Catur Guru Bhakti, yakni berbakti kepada empat jenis guru yang terdiri dari:
1)    Guru Rupaka atau Guru Rekha, yakni orang tua, ibu bapak.
2)    Guru Pangadyayan  atau Pangajian, yakni para guru yang memberikan pendidikan.
3)    Guru Wisesa, yakni pemerintah yang memberikan perlindungan dan kemakmuran masyarakat
4)    Guru Svadhyaya, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru tertinggi (Paramestiguru).
Dengan memahami dan patuh keempat guru tersebut di atas sebenarnya setiap umat Hindu telah melaksanakan ajaran kepemimpinan. Demikian pula di rumah atau di luar pendidikan sekolah, di sekolah dan bahkan kepada pemerintahpun, seorang anak atau anggota masyarakat dituntut untuk patuh kepada empat guru  tersebut di atas. Persoalannya lebih jauh apakah ajaran atau konsep kepemimpinan Hindu hanya terbatas pada ajaran Catur Guru Bhakti itu? Ataukah ada ajaran-ajaran kepemimpinan lainnya yang perlu digali dan apakah ajaran Agama Hindu mampu mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam era globalisasi dengan kecenderungan material oriented-nya. Bagaimana fungsi-fungsi kepemimpinan Hindu itu sebenanya dan apakah seseorang menjadi pemimpin itu karena dilahirkan atau karena diciptakan dan lain-lain  permasalahan yang patut kita kaji dalam kesempatan terbatas ini.

Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah adhipatyam atau nayakatvam. Kata adhipatyam berasal dari adhipati sedang nayakatvam dari kata nayaka, kedua kata dari kosa kata bahasa Sanskerta ini berarti pemimpin. Untuk memahami konsep kepemimpinan, tipologi, fungsi dan asal-usulnya, pada kesempatan yang terbatas ini penyusun mencoba mengkaji dari sumber pustaka yang ada terutama dari sumber primer yakni kitab suci Veda dan susastra (pustaka) Hindu lainnya seperti Ramayana, Mahabharata dan sebagainya.                  

Di samping kata adhipati dan nayaka yang berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang pemimpin, yaitu raja, maharaja, prabhu, ksatriya, svamin, isvara dan  natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal istilah ratu atau datu, sang wibhuh, murdhaning jagat dan sebagainya yang mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun secara terminlogis terdapat beberapa perbedaan.

Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena itu selalu relevan dengan perkembangan masyarakat. Nilai-nilai kepemimpinan dalam ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber filsafat, etik dan moral, tetapi juga nilai-nilai  spiritual yang luhur untuk mencapai tujuan tertinggi berupa kebahagiaan lahir dan batin.

Nilai-nilai atau konsep-konsep kepemimpinan Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra, Dharmasastra termasuk pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata dan kitab-kitab Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan lain-lain.

Di dalam kitab suci Veda kita jumpai beberapa mantra yang menyangkut ajaran kepemimpinan antara lain :
1)    Seorang pemimpin berasal dari warga negara (Yajurveda XX.9).
2)    Warga negara yang merupakan satu kesatuan dalam berbangsa adalah anggota badan  seorang pemimpin (Yajurveda XX.8)
3)    Seorang pemimpin melindungi warganya tanpa menyakiti mereka (Yajurveda XIII.30).
4)    Kami memilih seorang pemimpin untuk memperoleh makanan dan mengentaskan kemiskinan dan kesejahtraan yang berlimpah (Yajurveda X.21).
5)    Seorang pemimpin atas rakhmatnya melindungi masyarakatnya (Yajurveda XXX.5).
6)    Seorang pemimpin tidak pernah sedih, ia senantiasa berbuat jujur (Rigveda V.34.7)
7)    Seorang pemimpin membuat kita sejahtra dan melindungi cendekiawannya (Rigveda I.54.11).
8)    Marilah kita semua orang dari segala penjuru mendatangi pemimpin untuk melenyapkan semua penderitaan (Yajurveda VI.36).
9)    Semogalah masyarakat memperoleh kesejahtraan/kebahagiaan karena pemimpinnya (Yajurveda XI.28).
10)    Wahai pemimpin! Usahakanlah semua wargamu berbahagia, berikan kesejahtraan dan tolonglah mereka (Sàmaveda,971)
11)    Wahai Pemimpin! Datangilah masyarakat dan bebaskanlah mereka dari penderitaan (Samaveda, 753).
12)    Kami semua patuh dan taat kepada semua peraturan pemimpin/pemerintah (Rigveda VIII.25.16).
13)    Semua golongan dalam masyarakat memuji pemimpinnya atas perhatiannya yang baik terhadap kesejahtraan warganya (Rigveda V.37.4).
14)    Wahai Pemimpin! Bertindaklah untuk kesejahtraan masyarakatmu dan keabadian namamu (Atharvaveda XIII.1.34).

Selanjutnya di dalam Arthasastra karya maharsi Kautilya atau Chanakya (VI.1.2-6) dinyatakan enam sifat atau disiplin hidup yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1)    Abhigamika, seorang pemimpin dapat menarik simpati rakyatnya, karena itu ia harus berorientasi ke bawah, mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
2)    Prajña, seorang pemimpin hendaknya cerdas, arif dan bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan seni kepemimpinan serta memiliki daya analisa yang tajam dengan pandangan yang jauh ke depan.
3)    Utsaha, seorang pemimpin hendaknya mampu mengambil inisiatif, oleh karena itu ia harus aktif, innovatif dan menjadi pelopor dalam mengembangkan kreativitas masyarakat untuk maju.
4)    Atmasampad, seorang pemimpin hendaknya memiliki integritas pribadi, memiliki moral yang luhur, segala tingkah lakunya terpuji dan patut menjadi teladan masyarakat.
5)    Sakhyasamanta, seorang pemimpin mampu mengawasi bawahannya, dengan demikian segala kebijaksanaan yang telah ditetapkan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
6)    Aksudraparisakta, seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk memadukan pendapat yang saling berbeda dalam suatu permusyawaratan. Pemimpin seharusnya menguasai teknik dan seni mempertemukan pendapat-pendapat yang saling berbeda. Kepandaian pemimpin dalam berdiplomasi ini akan mengantarkan sukses kepemimpinannya.

Masih banyak  ajaran kepemimpinan dapat kita jumpai  dalam kitab suci Veda maupun Arthasastra yang tidak terungkapkan pada kesempatan ini. Di samping kitab suci Veda dan Arthasastra dalam kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab Purana. Dalam Ramayana, ajaran Sri Rama sangat dipuji oleh maharsi Walmiki. Pada bagian manggala dari kakawin itu diuraikan bagaimana kepemimpinan Sri Rama yang sangat termashur dan relevan untuk dipelajari dan dikembangkan dewasa ini. demikian pula ajaran kepemimpinan dalam Mahabharata ke XIII, yakni kitab Anusasanaparva, hampir seluruh buku mengajarkan ajaran kepemimpinan Hindu yang sangat ideal merupakan wejangan dari maharsi Bhisma, ketika menunggu ajal di atas tempat tidur dari anak panah. Ajaran kepemimpinan yang diwejangkan kepada Dharmawangsa itu juga sangat relevan dan patut untuk dijadikan pedoman oleh para pemimpin.

Membahas model kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dengan tipologi kepemimpinan, kepemimpinan Hindu menyangkut ajaran moral yang tentunya nampak seperti adanya dua kutub yang berlawan atau seperti warna hitam-putih, benar-salah, baik dan buruk, walaupun dalam kenyataannya tidak ada seorang manusia atau pemimpin yang benar-benar seratus persen baik atau sebaliknya. Secara psikologis sifat manusia, seperti di sebutkan dalam kitab suci Bhagavadgita bahwa manusia memiliki dua kecenderungan atau sifat, yaitu :
1)    Daiwi Sampat, sifat kedewataan (Madhawa), yakni segala sifat yang baik, jujur, benar,  terpuji dan sejeninya.
2)    Asuri Sampat, sifat keraksasaan (Danawa), yakni segala sifat yang buruk, kasar, rakus tidak jujur, serakah dan yang sejenisnya.

Atas dasar dua sifat atau kecendrungan manusia (Manawa) seperti tersebut di atas, maka kepemimpinan Hindu tentunya mengikuti tipologi kecenderungan manusia, yaitu tipologi kepemimpinan Hindu yang ideal digambarkan sebagai kepemimpinan para dewa (Daiwi Sampat) di bawah maharsi agung Wrihaspati yang bulat, utuh, demokratis dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat  dan kemanusiaan, tegaknya agama, moral dan hukum serta berusaha tiada hentinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Perhatikan nasehat Sri Rama kepada adiknya Bharata dalam Kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno). Sebaliknya tipologi kepemimpinan Hindu yang tidak patut dicontoh dan seharusnya ditinggalkan oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang sangat dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan Asuri  Sampat, yaitu rakus, diktator, otoriter tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan rakyat di bawah pimpinannya.

Bila kita mengkaji nama-nama atau istilah secara terminologis, semantik atau etimologis kita sebenarnya sudah mendapatkan gambaran tentang fungsi-fungsi kepemimpinan itu, misalnya kata raja, dari urat kata raj yang artinya menggerakkan. Maharaja artinya pemimpin besar yang mampu menggerakkan (massa). Prabhu artinya yang terkemuka, memimpin, membimbing atau yang paling berani mengambil tanggung jawab bagi anggotanya. Ksatriya atau rajanya artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan. Svamin menjadi kata suami dalam bahasa Indonesia artinya yang mempimpin, tuan (master, lord) atau  yang menguasai dirinya sendiri. Isvara artinya yang tertinggi, yang paling menonjol atau yang paling berkuasa, natha artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan. Ratu dan datu artinya hampir sama dengan kata raja sedang murdhaning jagat, artinya tampuk pimpinan dari masyarakat.

Berdasarkan tinjauan terminologis, etimolis dan semantik serta berdasar kutipan-kutipan terjemahan mantra Veda dan terjemahan sloka-sloka kitab Arthasastra maka dapat dirumuskan  fungsi-fungsi kepemimpinan dalam Hindu atas dua jenis fungsi, yaitu:
1)    Melindungi masyarakat, memberikan rasa aman, bertanggung jawab serta memberikan bimbingan kepada warganya untuk turut mewujudkan rasa aman dan tentram dikalangan mereka (fungsi security).
2)    Mewujudkan kemakmuran bersama-sama anggota masyarakat untuk mewujudkan kesejahtraan, kemakmuran dan melepaskan pederitaan masyarakat lahir dan batin (fungsi prosperity).

Kepemimpinan yang berlandaskan ajaran Agama Hindu tentunya dapat mengaktualisasikan ajaran Agama Hindu. Untuk itu fungsi-fungsi agama bagi kehidupan manusia harus disadari dan dipahami oleh seorang pemimpin, sebab membahas kepemimpinan Hindu tidak dapat melepaskan diri untuk tidak mengkaji ajaran Agama Hindu.  Dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, agama dan juga pemimpin atau kepemimpinan mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1)    Sebagai factor motivatif, mendorong, mendasari, melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
2)    Sebagai faktor kreatif, produktif dan innovatif, mendorong dan mengharuskan untuk tidak hanya melakukan kerja produktif saja, tetapi juga kreatif dan innovatif.
3)    Sebagai faktor integratif, memadukan segenap aktivitas manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Keyakinan dan penghayatan terhadap ajaran agama akan menghindarkan manusia dari situasi dan kepribadiannya yang pecah. Dengan keutuhan kepribadiannya itu manusia akan mampu menghadapi berbagai macam tantangan dan resiko kehidupan.
4)    Sebagai faktor sublimatif atau transformatif, mampu mengubah sikap dan prilaku, perkataan maupun perbuatan sesuai sesuai dengan ajaran agama.
5)    Sebagai faktor inspiratif, memberikan inspirasi bagi pengembangan seni dan budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu.

Tentunya fungsi-fungsi kepemimpinan itu akan lebih kompleks bila dikaitkan dengan berbagai jenis atau tipologi kepemimpinan yang bersifat spesifik. Di dalam kitab suci Veda diamanatkan bahwa seorang pemimpin bagaikan Dewa Indra dan Soma (Rigveda II.16.2, VII.104.3), seorang pemimpin bagaikan Dewa Agni (Yajurveda XIII.1, XII.7) yang kemudian di dalam kitab Manawadharmasastra (IX.303-311) dikembangkan menjadi delapan dewa yang memasuki tubuh seorang pemimpin, yaitu dewa-dewa penjaga alam, yakni Dewa Soma (Candra), Dewa Agni, Dewa Surya, Dewa Wayu, Dewa Kuwera, Dewa Indra, dan Dewa Yama. Fungsi atau sifat dari delapan dewa-dewa ini kemudian di dalam Kakawin Ramayana  dikenal dengan ajaran kepemimpinan Astabrata seperti telah disebutkan di atas.

Lebih jauh, asal-usul seorang pemimpin sebenarnya telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) yang secara jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara atau rakyat. Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah  benar-benar memiliki kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan bakat dan kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut dengan warna. Kata warna dari urat kata wri yang artinya pilihan bakat dari seseorang. Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut ksatriya, karena kata ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah seorang brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, petani, nelayan dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka seorang dapat menjadi pemimpin disebabkan oleh beberapa hal
1)    Karena memiliki bakat sejak kanak-kanak sudah menonjol sifat dan prilaku kepemimpinannya. Ketika dewasa otomatis dia akan menjadi seorang pemimpin yang handal. Bila seseorang karena direkayasa untuk menjadi pemimpin dan tidak berdasarkan bakat dan kemampuannya, maka walaupun ia dipaksakan menjadi seorang pemimpin, kepemimpinannya akan kelihatan lembek, melempem, loyo dan tidak memiliki aktivitas apapun.
2)    Seorang pemimpin muncul di samping karena bakat, situasi tertentu juga memaksakan kelahiran seorang pemimpin. Pemimpim yang demikian akan sukses bila ia memiliki bakat dan kemampuan untuk itu. Dengan kecerdasan yang dimiliki serta mengembangkan sikap ingin terus belajar, maka pemimpin yang mendapat kesempatan untuk memimpin akan selalu berhasil membimbing warganya.

Keberhasilan seseorang pemimpin disebabkan karena ia memiliki  kemampuan untuk  mengatasi berbagai tantangan, mengingatkan kepada ceritra Ganesa ketika baru bertempur ke medan perang. Justru semakin dipukul oleh musuhnya tubuh Ganesa semakin besar dan kuat dan akhirnya patahan taringnya sendiri mampu mengatasi berbagai rintangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar