Senin, 24 Oktober 2011

Ajaran Kepemimpinan Dalam Kakawin Gajah Mada,2

Mitos dalam Kakawin Gajah Mada

Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuklah berbagai mitos tentang dirinya. Fraser berpendapat bahwa pada hakekatnya, pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja semua gejala yang ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Orang terus-menerus mencari yang tersirat di belakang sesuatu, sehingga terjadilah sebuah mitos. Locher berpendapat bahwa mitos hidup dalam suatu kelompok yang merujuk pada kejadian-kejadian yang sekaligus berhubungan dengan masa lampau, sekarang dan yang akan datang. Dengan penekanan yang berbeda-beda, ada yang lebih peka terhadap masa lampau, ada pula untuk masa sekarang atau masa yang akan datang. Itulah kekhasan yang membuat mitos itu mempunyai sifat ganda, sekaligus berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Ia tidak mempersoalkan benar tidaknya mitos itu, sebab mitos itu seperti kepercayaan lainnya mungkin saja tidak benar, tetapi mungkin juga benar karena itu sebuah mitos. Mitos itu dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam masyarakat di mana mitos itu hidup (Partini, 1986:11). Menurut Nurgiyanto (Cika, 2006: 24) mitos merupakan penerusan tradisi. Tradisi yang menguatkan  disebut pengukuhan tradisi (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of freedom). Kedua hal ini dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.  Demikian dalam KGM tidak hanya mitos tentang Gajah Mada yang ditampilkan, juga mitos-mitos lainnya sebagai tokoh antagonis yang perlu dikaji dalam tulisan ini. Mitos-mitos tersebut antara lain:

1)    Gajah Mada sebagai keturunan Dewa Brahma (…..mahyun mrakertang Dhatrasuta teher mahaknang guritnireka (KGM 1.2b: ingin memuji putra Dewa Brahma (Gajah Mada) kemudian mengagungkannya dalam bentuk kakawin). Dari larik di atas, oleh penyair KGM Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang yang digjaya (a)nindyeng sarat (KGM 1.2c: yang jaya tidak tercela di seluruh dunia). Sebagai tokoh protagonis digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu memasukan dewa-dewa  kahyangan ke dalam tubuhnya (37.14-18), seperti ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Astabrata yang diungkap dalam kakawin Ramayana.

Sumber ajaran kepemimpinan Astabrata ini adalah kitab Manawadharmasastra IX.303-311 (Pudja & Sudharta, 2002:607-609) dan bukan Ramayana karya Walmiki. Demikian pula  Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa Asmara yang tampan dan cemerlang (37.3-5). Partini  Sarjono Pradotokusumo (1986:59) menyimpulkan penggambaran tokoh Gajah Mada dalam KGM adalah sebagai berikut: (1) Tokoh yang pada mulanya ‘datar’ sesuai dengan the epic divine hero, namun dapat membuat kejutan dengan memperlihatkan sifat-sifat yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira; (2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai mahapatih kerajaan Majapahit; (3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja; (4) kejayaan batin didapatnya berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran  yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju kelepasan. Muhamad Yamin (Partini, 1986:1253) menyatakan  secara meyakinkan bahwa Gajah Mada adalah seorang-orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana ke atas dunia. Pandangan Mohamad Yamin tersebut tidaklah salah, karena di dalam Agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol umumnya diambil dari sifat Dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dari penjelmaan awatara-awatara-Nya dalam setiap zaman.

2)    Tokoh protagonis lainnya adalah Sri Kepakisan dan istrinya yang ditampilkan dalam mitos kelahiran dua anak, pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah Mada (44.8).  Terjadinya perkawinan incest atau kembar dampit (kembar buncing) di kalangan para bangsawan dianggap sangat utama karena penjelmaan manusia utama, sedang bila itu terjadi di kalangan orang kebanyakan (orang jaba atau di luar tri wangsa) dianggap aib yang dapat menyengsarakan masyarakat. Perkawinan tersebut disebut Asupundung dan Alangkahi Karanghulu. Tentang kelahiran buncing dan perkawinan di atas, pada tanggal 12 Juli 1951 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali memutuskan dua buah keputusan penting berkaitan dengan hal tersebut, yakni Keputusan Nomor 10 Tentang penghapusan adat yang berkaitan dengan seseorang yang melahirkan anak kembar buncing (kembar laki-laki dan perempuan), dan Nomor 11 Tentang penghapusan perkawinan Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu, yakni perkawinan antara laki-laki dari Sudrawangsa dengan istri dari Brahmanawangsa dan antara laki-laki dari Sudrawangsa dengan istri dari Ksatriyawangsa. Keputusan DPRD Bali ini mencabut Paswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan Lombok tertanggal 11 April 1927 No.352 Jl.C.2 tentang Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu. Keputusan DPRD Bali tahun 1951 baru mendapat pengukuhan kembali dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui Bhisama Sabha Pandita Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 20 Oktober 2002 Tentang Pengamalan Catur Warna sesuai dengan kitab suci Veda dan susastra Hindu (Dana, 2005:149).

3)    Tokoh antagonis dalam KGM yang pertama disebutkan adalah Raja Masula-Masuli yang lahir atas perkenan Dewa Indra. Ia disebut sebagai keturunan raksasa yang buas dan tamak, musuh dari orang-orang saleh. Ia adalah ayah dari Gajah Waktra (Gajah Wahana) yang kemudian disebut Bedhahulu. Tokoh antagonis umumnya selalu dikaitkan dengan kelahiran dari keturunan orang jahat atau raksasa.

4)    Tokoh antagonis lainnya sebagai lawan dari Mahapatih Gajah Mada adalah raja Bali yang disebut Bedhahulu atau Bedhamukha. Raja Bali mengadakan latihan perang. Kepala raja pagi hari dipotong, melesat ke angkasa, sore hari kembali bersatu dengan badannya (45.8-11). Latihan perang bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu Anyar latihan perang dilanjutkan. Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun sampai sore kapalanya itu belum juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian diganti dengan kepala babi hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian tinggal di menara yang tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9). Raja ini digambarkan sangat bengis, namun akhirnya ia juga mencapai kelepasan menuju sorga (50.10). Bedhahulu atau Bedhamukha tentunya mengandung makna sebagai orang yang tidak tunduk kepada raja Majapahit.

5)    Kebo Wawira (Kebo Iwa) digambarkan sebagai orang yang mukanya buas, badannya besar dan tinggi, bagaikan Kumbhakarna yang gagah, congkak, badannya kuat perkasa (51.60).

Tokoh protagonis pada umumnya selalu digambarkan sangat tampan, cerdas dan berbudi pekerti luhur, sebaliknya tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang tidak tampan, jahat, bodoh, licik, dan tidak memiliki budi pekerti yang luhur. Hal ini adalah wajar dan merupakan konvensi dalam karyasastra sejak diturunkannya kitab suci Veda, dituliskannya kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab Purana. Penggambaran para dewa dan raksasa, perwujudan dharma dengan adharma, senantiasa diekspresikan melalui tokoh-tokoh yang tampan dan buruk, seperti Rama, Krisna, Arjuna, yang bertentangan dengan Rawana, Duryodhana, Dussasana, dan sebagainya.

Ajaran Kepemimpinan dalam Kakawin Gajah Mada

    Ajaran kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga bagian akhir dari karyasastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya:
1)    Senantiasa rajin sembahyang dan bermeditasi  atau samadhi (17.5). Digambarkan bahwa sejak anak-anak Pipil Mada atau Gajah Mada suka melaksanakan sembahyang dan meditasi.  Meditasi dilakukan pada malam hari dan sering mendapat vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari Dewa Brahma, ayah spiritualnya.

2)    Menjadi pelopor  dan memiliki wawasan ke depan, terutama dalam membuka ladang Trik (18.1). Gajah Mada digambarkan selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras di antara teman-teman sebayanya.

3)    Mampu memberi semangat dalam melaksanakan kerja keras dan berat terutama dalam memajukan sistem pertanian (18.8, 22.4). Gajah Mada digambarkan mampu memberi motivasi kepada sesamanya. Karismanya tampak yang sejak anak-anak, kemana Pipil Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya (13.8). Para gembala senantiasa menuruti apa yang diperintahkan Pipil Mada (17.3).

4)    Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka,  dan kata-katanya manis bagaikan air kehidupan (20.7-10). Dalam berbagai kesempatan digambarkan Gajah Mada dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan pemimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya.

5)    Mampu menarik simpati, cerdas, dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada baru pertama kali mengabdikan dirinya di istana mahapatih Majapahit yang sudah mulai tua (Arya Tadah?) dan kemudian ia dikawinkan dengan putrinya bernama Dyah Bebed (30.1-14, 31.1-12, 32.1-6). Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli Raja Bedhahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumannya satu bumbung legen, ia bersedia makan di hadapan raja (50.1). Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apa lagi saat yang bersangkutan menikmati makanan (humadang ri ajengira sri haji kang  bhojana).

6)    Sopan dan ramah (49.6). Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira dan Pasung Rigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh Raja Jawa  yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut (49.7-10).  Karena penampilannya yang sangat sopan dan ramah, akhirnya Kebo Iwa mudah ditipu oleh Gajah Mada.

7)    Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yajña (66.2-3).

8)    Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan (66.4-7).

9)    Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggungjawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum), tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan atau yang berpangkat)(66.8-12).

10)    Menghormati orang yang arif bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan samadhi. (66.13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar