Senin, 24 Oktober 2011

ktualisasi agama dalam Konteks Perubahan Sosial

A Print E-mail
Article Index
Aktualisasi agama dalam Konteks Perubahan Sosial
Page 2
Page 3
“Wahai umat manusia, satukan pikiranmu untuk mencapai
satu tujuan dan satukan hatimu, satukanlah pikiranmu dengan
sesama dan semuanya tinggal dalam pergaulan
masyarakat yang harmonis”
Rgveda X.191.4
ImageAbstract
Social life always proceeds dynamicaly following the capabilities of the society at adapting themselves into the natural phenomenon. Dynamism is an essence of the mankind life in its community and society, which opens to the local, national, and international progress. Consequently, there will be sosial change that result in behavior changes, orientational changes, value and cultural changes.
    The globalizationwith its finding in informational technology is the result of the social change that break through sosial, economic, cultural, and religious barriers and becomes an international possesion. In the borderless age, a society tends to change the behavior and orientation, from the traditional, communal, religious to consumerism, individual, and seculer. Seeing from religious perspective, this change seem to be significant because religions shuld play big roles in the process so that the change would safely take the society toward a more peaceful condition. Because of this, religious values should be actualized in the change context so as the religion can become the spirit/motivation and the controller of the men’s behaior along the changes. A religion should be the spirit in men’s activities abd the controller when there is a devergency in the society.
    In Hindu perspective, there are a lot of social living conceptions that come from Vedic teachings that can be actualized as an anticipative thought and a problem solver in facing the age propblems, which in Hindu is named Kali (quarreling) age. The conceptions are described in Itihasa and Purana scripts. Facing a social change, Hindu stresses a harmony in living, vertically (with God) and horizontally (with creature and nature) so that the world prosperity and its implication of the next world will be achieved.
A.Pendahuluan
Era globalisasi kini merupakan dinamika jaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengakibatkan perubahan sosial yang sangat besar. Dalam beberapa hal, perubahan sosial dan kehidupan masyarakat dewasa ini,  nampaknya seperti ada kemiripan dengan jaman Kaliyuga. Di dalam berbagai kitab Itihàsa dan Puràna ditengarai bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina
pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia mulai memasuki era atau jaman Kaliyuga (Gambirananda, 1984: XIII). Kata Kali berarti pertengkaran, dan jaman ini ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Pertengkaran terjadi di mana-mana, di kalangan tokoh-tokoh intern se-agamapun dan bahkan hampir setiap keluarga tidak luput dari pertengkaran. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan memuaskan nafsu indrawi (Kàma) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri jaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi dipercepat dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara, bangsa dan sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat luas. Budaya barat yang sekuler dan nampak juga sebagian hedonist sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur.
Pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia digambarkan dalam kitab Skanda Puràna, XVII.1, antara lain pada : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/emas (Vettam Mani, 1989: 373). Hal ini adalah logis, karena pada tempat-tempat tersebut merupakan arena yang sering menyulut pertengkaran. Minuman  keras menjadikan  seseorang  mabuk  dan bila mabuk maka pikiran,  perkataan dan tingkah lakunya sulit untuk dikendalikan. Demikian di tempat judian, pelacuran dan persaingan mencari harta benda yang tidak dilandasi oleh Dharma (kebenaran), di tempat-tempat tersebut sangat peka meletupnya pertengkaran yang kadang-kadang berakibat fatal, yaitu pembunuhan.
Bila kita melihat diturunkannya ajaran agama, yang maksudnya adalah untuk menyejahtrakan manusia, maka manusia hendaknya kembali kepada ajaran agama sebagai basis kehidupan. Manusia yang taat untuk mengamalkan ajaran agama, akan berhasil mengarungi samudra kehidupan dengan berbagai gelombangnya, apakah dahsyat atau lembut. Seorang yang berhasil meniti gelombang kehidupan adalah ibarat seorang peselancar yang mahir, sesekali tenggelam dihantam gelombang, namun tidak lama kemudian ia tersenyum riang di atas alunan pasang.
Kehidupan modern yang sekuler dan bahkan ada sebagian masyarakat yang hedonist mengantarkan umat manusia pada kehancuran dan hal ini semakin nyata pengaruhnya dewasa ini. Bagaimanakah aktualisasi agama dalam konteks perubahan sosial (perspektip agama Hindu)?  Solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut kiranya dikaji secara seksama, sehingga agama Hindu sesuai dengan namanya yakni Sanatana Dharma, agama yang abadi atau berlaku sepanjang jaman benar-benar menjadi pedoman, suluh penerang yang memberikan kebahagiaan kepada umatnya.
Kondisi masyarakat dewasa ini nampaknya persis sama dengan penggambaran
Visnu Puràna, sebagai berikut :                   

                         “Masyarakat hancur karena  harta  benda  hanya berfungsi meningkatkan
                         status sosial/kemewahan bagi seseorang,materi menjadi dasar kehidupan
                         kepuasan  hidup  hanyalah  kenikmatan  seks antara laki-laki dan wanita,
                         dusta menjadi  sumber kesuksesan hidup.   Seks merupakan satu-satunya
                         sumber  kenikmatan  dan  kesalahan  merupakan  hiasan  bagi kehidupan
                         spiritual.
 Visnu Puràna IV. 24. 21-22.

Demikian pula di dalam kitab Vànaparva, Mahàbhàrata keterangan serupa dapat kita jumpai sebagai berikut :

                        “Pada  jaman  Kaliyuga  para  Brahmana  tidak  lagi melakukan upacara 
                         yajña dan mempelajari kitab suci Veda.  Mereka meninggalkan tongkat   
                         dan  kulit  menjangannya  dan  menjadi  pemakan segala (sarvabhàkûa).     
                         Para  Brahmana  berhenti  melaksanakan  pemujaan  dan  para   Sudra
                         menggantikan hal itu (32-33)”.

                         “Kelaparan membinasakan kehidupan manusia, jalan-jalan raya dipenuhi
                         oleh wanita yang reputasinya jelek. Setiap perempuan bertengkar/bermu-
                         suhan dengan suaminya dan tidak memiliki sopan santun (42)”

                         “Para Brahmana diliputi oleh dosa dengan membunuh para dwijati dan
                         menerima sedekah dari para pemimpin yang tidak jujur (43)”

                         “Pada  jaman  itu orang - orang bertentangan hidupnya dengan nilai-nilai
                         moralitas, mereka kecanduan dengan minuman keras, mereka melakukan
                         penyiksaan walaupun di tempat tidur gurunya. Mereka sangat terikat oleh
                         keduniawian. Mereka hanya mencari kepuasan duniawi terutama daging
                         dan darah (48)”

                         “Pada jaman itu ashram-ashram para pertapa dipenuhi oleh orang-orang
                         berdosa dan orang-oranng angkara murka yang malang yang selalu me-
                         ngabdikan hidupnya pada ketergantungan duniawi (49)”

                         “Pada jaman itu orang-orang tidak suci baik dalam pikiran dan perbuatan
                         nya karena mereka  iri  hati  dan  dengki.  Bumi  ini dipenuhi oleh orang-
                         orang yang penuh dosa dan tidak bermoral (51)”.
                        
                         “Pada jaman Kaliyuga para pedagang melakukan berbagai bentuk peni-
                         puan, menjual barang - barangnya  dengan  ukuran dan timbangan yang
                         tidak benar (53)”.
                     
                         “Pada jaman Kaliyuga orang-orang budiman hidupnya miskin dan umur-
                         nya pendek. Orang-orang yang penuh dosa menjadi kaya raya dan memi-
                         liki umur panjang (55)”.

                         “Gadis-gadis berumur 7 dan 8 tahun sudah melahirkan anak-anak dan
                         anak-anak laki berumur 10 atau 12 tahun telah menjadi ayah (60)”.

                         “Orang-orang ketika berumur 16 tahun sudah jompo dan segera setelah
                          itu ajalpun menjemput (61)”

                         “Para wanita mudah celaka,  melakukan perbuatan yang tidak pantas dan
                         melakukan  perbuatan  yang  tidak  terpuji,  menipu suami-suami mereka
                         yang berbudi pekerti luhur, melupakan  mereka bahkan berhubungan de-
                         ngan pelayannya dan atau dengan binatang sekalipun (63)”

                                Vànaparva, CLXXXVIII.

Lebih jauh di dalam kakawin berbahasa Jawa Kuno, Nìtiúàstra yang rupanya merupakan saduran dari Cànakya Nìtisàstra dalam bahasa Sanskerta dinyatakan sebagai berikut :    
                       “Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan
                       /harta benda yang sangat dihargai.   Tidak  perlu  dikatakan  lagi,  bahwa
                       orang yang saleh, orang-orang yang pandai akan mengabdi kepada orang
                       orang yang kaya. Semua ajaran rahasia kepanditaan lenyap,     keluarga-
                       keluarga dan para pemimpin yang bijaksana menjadi hina papa.    Anak-
                       anak menipu dan mengumpat  orang  tuanya.    Orang-orang  hina  akan
                       menjadi  saudagar kaya (memperoleh  kekayaan  dengan  jalan curang),
                       mendapat kemuliaan dan kepandaian”.
Nìtisàsta IV.7.

Bila nilai-nilai moralitas tidak diindahkan lagi oleh orang-perorangan (individu) maupun oleh masyarakat, maka ciri-ciri yang digambarkan pada jaman Kaliyuga itu merupakan kebenaran. Nilai-nilai moralitas semestinya menjadi pegangan hidup setiap orang, namun karena trend jaman Kali lebih menekankan pleasure oriented , maka hal itu akan mudah ditinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar