Senin, 24 Oktober 2011

ajaran kepemimpinan lewat kekawin gajah mada .1

Abstrak
ImageKakawin Gajah Mada, sebuah kakawin pada abad ke 20, selesai ditulis di Bali pada tanggal 10 November 1958, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kakawin ini menguraikan kejayaan Mahapatih Gajah Mada yang terkenal bijaksana. Penyair menggunakan berbagai sumber sebagai bahan penyusunan kakawin  ini, antara lain Babad Gajah Mada, Nagarakritagama, Pararaton, Cerita Rakyat Tentang Gajah Mada, Slokantara, Silakrama, dan lain-lain. Di dalam kakawin tersebut terdapat ajaran kepemimpinan di antaranya tentang profil pemimpin, kerja keras, visioner, cerdik, cermat, tipu daya, melenyapkan gangguan terhadap negara, pemimpin dan pandita melaksanakan fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva, mewujudkan kesejahtraan, melindungi seluruh wilayah negara, menumbuhkan kesadaran warga negara terhadap tegaknya hukum, mewujudkan kesucian pribadi melalui pertapaan, dan samadhi. Gajah Mada seorang negarawan besar dan ajaran kepemimpinan yang diajarkan dan diimplementasikan masih sangat relevan dewasa ini.
Kata Kunci
Kakawin Gajah Mada, Ajaran Kepemimpinan, dan  Model Kepemimpinan

Pendahuluan

Mahapatih Gajah Mada sangat populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mampu mempersatukan seluruh wilayah Nusantara yang meliputi kepulauan Madagaskar, Indonesia dewasa ini, sebagian Malaysia hingga ke Filipina Selatan. Salah satu karya sastra tersebut adalah Kakawin Gajah Mada (disingkat KGM) yang sudah dikaji dalam bentuk disertasi oleh Partini Sarjono Pradotokusomo dan sudah diterbitkan oleh Bina Cipta Bandung (1986) dengan topik Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin abad ke-20, Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks).

Di dalam KGM ditemukan berbagai taktik, strategi, profil pemimpin, dan ajaran kepemimpinan yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada yang kiranya masih relevan untuk dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali, tentunya ada pula hal-hal yang negatif yang tidak patut diteladani. Pengarang kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud. Beliau seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa, ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung, pengukir, dan seorang arsitek tradisional.

Ajaran kepemimpinan dalam KGM seperti disebutkan dalam kolofon teks ini (67.2)  merupakan karya intertekstualitas: ‘tan pendah lawe  awuk slirih leseh ring sampiran ngamet, yeka inantun-antun ginawe tenun sigra pwa kadurus’ (Tak ubahnya benang tenun yang lapuk, koyak, dan lusuh di tempat gantungan, kemudian dirangkai menjadi tenunan, tentu saja putus). Berdasarkan kutipan tersebut, tulisan ini ingin mengungkapkan tentang ajaran kepemimpinan yang terkandung dalam KGM, serta pesan yang terkandung dari KGM tersebut, yang dikaji melalui teori hermeneutik dan intertekstualitas.

Sinopsis Kakawin Gajah Mada

Pada bagian awal KGM, sebuah manggala (1.1-3) yang ditujukan kepada Bhattara Dhatra (Brahma). Diceritakan kehidupan pandita suami istri bernama Sura Dharma dan Nari Ratih yang tinggal di wilayah Wilatikta yang berguru kepada pandita Hangga Runti. Kedua siswa pandita ini diwisudha untuk mengikuti disiplin sebagai Sewala Brahmacari. Ketika Pandita Sura Dharma pergi meninggalkan pertapan untuk mengambil air minum, saat itu datang Dewa Brahma yang menyamar menyerupai wujud Pandita Sura Dharma yang merayu dan memperkosa Pandita Nari Ratih (1.4-8, 2.1-6, 3.1-8, 4.1-12, 5.1-10, 6.1-8, 7.1-10, 8.1-10, 9.1-10, 9.1-8). Kegagalan suami istri untuk melaksanakan disiplin Sewala Brahmacari mengakibatkan kekecewaan yang mendalam kedua suami istri tersebut yang mengakibatkan Pandita Nari Ratih hamil besar. Kemudian mereka berdua mengembara melakukan penyucian diri dan perjalanannya memasuki Desa Mada. Di depan pelataran (babaturan) sebuah pura tempat memuja Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga dan Gangga di desa ini Nari Ratih melahirkan seorang anak laki-laki (10.1-15). Anak itu ditinggalkan di pura tersebut, dan Pandita  Sura  Dharma dan istrinya kemudian mencapai kesempurnaan/nirwana(11.1-12).

Seperti ada kekuatan yang menarik kepala Desa Mada untuk menuju lokasi bayi laki-laki yang ditinggalkan oleh Pandita Sura Dharma dan istrinya yang tampak malam itu menyala bagaikan api yang membakar pura Dewa Siwa tersebut. Kemudian bayi itu dipungut dan dijadikan anak angkat yang kemudian anak itu menunjukkan sopan santun , mempesona dan menimbulkan simpati yang mendalam dan anak itu diberi nama Pipil Mada (13.1-8). Setelah anak itu remaja, ia diijinkan mengembalakan lembu. Ia bersama teman-teman sebayanya mengembalakan lembu di padang Kumalawati, di tepi sungai  yang airnya deras dan jernih. Di tepi tempat pengembalaan itu terdapat sebuah  candi, yang indah dengan taman bunga yang sedang mekar berbunga(15.1-9).  Pipil Mada mengajak teman-temannya untuk membuka sebidang tanah yang luas dan membukanya menjadi tanah pertanian (16.1-8). Tanah yang dijadikan ladang tersebut bernama tegal Trik, dan karena kemampuan Pipil Mada, tanah tersebut diubah menjadi tanah pertanian yang subur yang dibagi-bagi kepada para gembala (18.1-11). Tanah yang tadinya kering dan tidak subur diubah menjadi tanah pertanian yang subur, penuh dengan aneka tanaman umbi-umbian dan buah-buahan. Demikian pula aneka bunga tumbuh berkembang banyak orang yang kagum menyaksikan perubahan yang luar biasa tersebut (19.1-8).

Atas keberhasilan tanah pertanian tersebut. Pipil Mada bersama para gembala berniat mempersembahkan hasil pertaniannya itu kepada  raja Majapahit (20.1-11).  Pipil Mada memimpin rombongan yang jumlahnya sampai seribu orang (22.1-8). Segera tiba di balairung keraton (23.1-8). Mereka diterima oleh perdana menteri (mahapatih) dengan senang hati yang keheranan terhadap kemampuan anak-anak gembala tersebut.  Sang mahapatih kemudian meninjau tanah ladang yang subur tersebut (24.1-12). Sang mahapatih melakukan berbagai ujian terhadap sikap dan mental para gembala di ladang tersebut antara lain berupa dijatuhkannya sebuah palu mas dan uang perak yang ditinggalkan di ladang. Pipil Mada kemudian menunjukan integritasnya dengan menghaturkan semua milik mahapatih itu, yang menyebabkan pemilik harta berharga tersebut tertegun kagum (25.1-15).  Pipil Mada sangat tekun sembahyang dan melakukan meditasi yang dilakukannya sejak masa kanak-kanak. Tiga hari kemudian mereka memimpin kembali para gembala ternak itu menghaturkan hasil bumi ke istana Majapahit (26.1-14). Cukup lama para gembala diterima di istana, dan mereka diuji untuk menangkap ikan dan Pipil Mada menunjukkan kemampuannya yang luar biasa yang pertama datang menghadap dengan ikan yang sangat banyak (27.1-14).

Pipil Mada sendiri diminta untuk tetap tinggal di istana mahapatih. Pipil Mada  menunjukan kemampuan dirinya yang luar biasa dan menyenangkan. Diceritakan disebuh pertapaan terjadi keributan akibat Banasakti, makhluk siluman yang pura-pura menjadi murid pandita tersebut. Pada saat pandita guru pergi mandi, tiba-tiba makhluk siluman itu berubah wujud menjadi pandita guru yang penampilannya sama seperti pandita yang asli. Kedua pandita itu merebut istri pandita asli. Pertikaian dua pandita itu sampai terdengar ke istana sang mahapatih. Pipil Mada menyampaikan saran kepada mahapatih dengan menguji mereka di istana dengan cara mengangkat besi yang berat (29.1-20). Tipu daya yang disampaikan Pipil Mada itu berhasil, ternyata pandita yang palsu adalah pandita sanggup memikul besi yang berat tersebut, dan pandita palsu tersebut  mati dibunuh (30.1-14, 31.1-12).  Mahapatih sangat senang kepada Pipil Mada yang disebutnya sangat arif dan mampu menyelamatkan dirinya, kemudian dinikahkan dengan putrinya, Dyah Bebed (32.1-6).

Pipil Mada di istana mahapatih menunjukan dirinya sebagai Dewa Asmara (37.3-5) yang kemudian mahapatih menyerahkan kekuasaannya kepada Pipil Mada sebagai dirinya. Pipil Mada memasukan dewa-dewa kahyangan dalam tubuhnya (37.14-18). Mertua Pipil Mada menasehati anak dan menantunya, menjadi putri yang setia mengikuti teladan Putri Madawi, putri Maharaja Jayati dan Pipil Mada mengikuti jejak Pandita Golawa yang sangat bakti kepada gurunya Wiswamitra. Dapat memberi perlindungan seperti Sang Garuda (40.1-13).  Raja Kala Gemet  menyetujui pengunduran ayah Dyah Bebed sebagai mahapatih dan menunjuk Gajah Mada sebagai mahapatih Kerajaan Majapahit (Wilatikta). Ketika Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih, seluruh raja (bawahan) tunduk kepada Majapahit, negara makmur dan sejahtra (41.7-42).   

Dhang Hyang Kepakisan memerintah di Majalangu (lukisan keindahan pemandangan). Kelahiran dua anak, pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah Mada. Kemudian Sri Kapakisan mempunyai empat orang putra, tiga laki-laki dan satu wanita. Raja Kala Gemet wafat meninggalkan dua putri (44.8). Sri Kresna Kapakisan menjadi raja Majapahit; Gajah Mada menjadi mahapatihnya (44.9-12).

Selanjutnya diceritakan kerajaan Bali. Asal-usul raja Bali (45.1-4). Pendirian benteng di Batu Anyar (45.5). Para patih raja adalah: Pasung Rigis di Tangkulak, Kebo Mayura (Kebo Iwo) di Karang Buncing. Tambyak di Jimbaran, Komang di Sraya. Dilukiskan persahabatan antara Pasung Rigis dan Kebo Mayura (45.6-7). Raja Bali mengadakan latihan perang. Kepala raja pagi hari dipotong, melesat ke angkasa, sore hari kembali bersatu dengan badannya (45.8-11). Latihan perang bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu Anyar latihan perang dilanjutkan. Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun sampai sore kapalanya itu belum juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian diganti dengan kepala babi hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian tinggal di menara yang tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9).

Gajah Mada di Majapahit mengadakan sayembara dua putri Kala Gemet (lukisan keindahan). Dyah Pusparaga dipersunting Pradita, putra raja Koripan, adiknya Ratna Puspacitrangsa diperistri Sukarsa, putra raja Gaglang (47.10-14). Kelahiran putra raja Koripan bernama Hayam Wuruk atau Smara Wijaya dan putra raja Gaglang bernama Jaya Tular aatau Smara Kajanta (48.1-5). Negara Majapahit sejahtera dengan Mahapatih Gajah Mada (46.8).

Terjadi peristiwa kelaparan di Majapahit (48.1-7). Raja Bali yang dituduh menyebabkan bahaya kelaparan tersebut (48.8). Gajah Mada didampingi oleh Gajah Para diutus ke Bali (48.8). Raja Bedhahulu atau Bedhamukha dan Kebo Mayura dicarikan siasat supaya dapat ditaklukan (48.9). Menuju ke kediaman Pasung Rigis dan Kebo Mayura (48.10-11). Gajah Mada meminta Kebo Mayura untuk bersedia dikawinkan dengan putri raja Majapahit (50.1-7). Kebo Mayura setuju dan minta izin kepada raja Bedhahulu (50.8). Gajah Mada dapat melihat wajah raja Bedhahulu. Kematian raja Bedhahulu (50.8-11). Gajah Mada dan Pasung Rigis ke Tangkulak (50.9-12). Pasung Rigis dilumpuhkan kesaktiannya (50.13-21).

Gajah Mada meneliti daerah yang strategis untuk persiapan perang (50.1-4). Jamuan makan di desa-desa sepanjang perjalanan (51.5-9). Kebo Wawira (Kebo Iwa) disuruh menggali sumur (51.10-12). Kebo Wawira mau dibunuh, tetapi tidak berhasil (51.13-52.6). Kebo Wawira dapat dibunuh dengan kapur  (52.7-11).

Laporan Gajah Mada di Majapahit bahwa memang benar raja Bali penyebab musibah dan kelaparan di Majapahit (53.1-54.2). Dilanjutkan dengan pengerahan bala tentara Majapahit akan menyerang Bali (54.3-55.5). Di lain pihak kerajaan Bali mempersiapkan tentaranya (55.6-8). Perang berkobar, Arya Damar berhadapan dengan Pasung Rigis dan patih Bedhahulu ini kalah dan berhasil dibunuh oleh Arya Damar (58.1-6).

Kemenangan berada pada bala tentara Jawa (59.1-5). Arya Damar menemui Gajah Mada di Mimba (59.6). Arya Damar salah paham (59.7-14). Di Bali  ada musuh berupa Raja Danawa (raja Balingkang) yang datang menyerang (60.1-6). Arya Kapakisan disuruh Gajah Mada melapor ke Majapahit (60.7-61.1). Pengerahan bala tentara dari daerah lain oleh Majapahit (61.2-6). Raja Majapahit  dan bala tentara tiba di Bali. Raja memberi wejangan pada bala tentara dan penyusunan siasat perang, kemudian perang berkobar (61.7-63.8). Gajah Mada dan Gajah Para kalah melawan Raja Danawa, dilanjutkan dengan Raja Kresna Kapakisan mengalahkan Raja Danawa (63.3-63.10).

Kemenangan ada pada pihak Majapahit. Pembagian wilayah kerajaan dengan raja Bhima di Pasuruhan, Juru di Blambangan, Kenceng di Tabanan, Senthong di Pacung, Bleteng di Penatih, Kutha Waringin di Kapal, Binculuk di Tegeh Kuri, Kapakisan di Bedhahulu, Blog di Kaba-Kaba. Raja mendirikan kerajaan di Samplangan (64.6-10). Penyerangan ke Sumbawa oleh putra Pasung Rigis (64.11-13).

Di Majapahit, Raja Kresna Kapakisan mengundurkan diri, penggantinya raja Hayam Wuruk dan Wengker. Gajah Mada mencegah mundurnya Raja Kapakisan, tetapi raja tetap pendirian. Dua raja memerintah dengan pendamping para patih, terutama Gajah Mada (65.1-10). Keadaan Majapahit yang makmur dan sejahtera. Keberhasilan Gajah Mada sebagai pendamping raja. Raja Majapahit yang arif bijaksana, penganut dan mengamalkan ajaran agama (66.1-13). Penutup dengan pernyataan kerendahan hati sang kawi, dan diakhiri doa sang kawi supaya karyanya berhasil (67.1-5). Dalam bagian penutup ini sang kawi memuja sang pencipta atas anugrahnya, yang dipuja melalui Omkara dan Acintya, sebagai Candrasiwa dan Diwangkara yang menghancurkan semua racun (bisa), dan menempatkan teratai Aditi pada kepala untuk memohon penyucian, yang senantiasa menyebarkan cahaya yang terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar