Jumat, 21 Oktober 2011

renungan 3

Kekayaan ekonomi mendikte pengetahuan dan kekuasaan. Mungkin itu dinamika zaman ini. Beberapa puluh tahun lalu, ketika kedigdayaan ekonominya sedang di puncak, Amerika Serikat memproduksi sekolah bisnis.

Harvard saat itu semacam ikon yang ditiru dunia. Di akhir 1980-an, keajaiban ekonomi Jepang membuat dunia kagum, kemudian diikuti oleh studi yang membuahkan konsep budaya korporasi. Lagi-lagi dunia ikut nurut. Di tahun 2010 ini, China jadi kekuatan ekonomi yang tak bisa dibendung. Sudah mulai ada peneliti yang mengait-ngaitkan kemajuan ekonomi China dengan budaya Konfusian.

Kekuasaan di negeri ini serupa. Jangankan posisi yang jauh dari pantauan publik, menteri dengan integritas tinggi pun tumbang digusur kekuasaan beraroma uang. Melalui usul dana aspirasi, lagi-lagi atas nama uang, sebagian anggota DPR yang seyogianya menjaga konstitusi malah mencederai konstitusi.

Mungkin itu sebabnya John Law dkk (1991) memberi judul karyanya A Sociology of Monster. Pengetahuan—apa lagi kekuasaan—mulai diragukan bisa menjadi lahan subur pertumbuhan kebenaran, sebaliknya malah larut dibawa arus uang, kemudian ikut menjadi monster pemangsa kebenaran. Mungkinkah muncul manusia otentik di masa depan?

Muncul lenyap
Sebagai langkah awal buka tirai kejernihan, sesungguhnya tak hanya peran pengetahuan dan kekuasaan yang berputar dari waktu ke waktu, semua berputar. Ia sesederhana matahari: pagi muncul dengan hawa hangat, siang panas menyakitkan, sore lenyap menyisakan kegelapan. Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan melihat ketakkekalan dengan jarak yang sama. Perhatikan manusia yang dijumpai dalam keseharian. Di suatu waktu ia memuji, di lain waktu ia memaki, di kesempatan lain ia lupa.

Mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos adalah contoh indah. Puluhan tahun dikagumi banyak orang lengkap dengan kekuasaannya, di suatu waktu ia ditumbangkan. Ujung kekuasaannya tak menyisakan apa-apa, bahkan mayatnya tak diperbolehkan masuk Filipina. Sekian puluh tahun berlalu, salah satu putra Marcos memutar balik sejarah dengan memperoleh dukungan dalam pemilu. Bukan tak mungkin keluarga itu akan dihormati lagi.
Nelson Mandela di Afrika Selatan adalah contoh lain. Selama 27 tahun merana di penjara. Ketika rezim kulit putih jatuh, ia muncul jadi pahlawan. Tatkala cerai dengan istrinya, ia dipandang sebelah mata. Inilah yang disebut ketidakkekalan. Tak saja manusia di luar sana yang tak kekal, tubuh ini hari ini menyenangkan karena makan enak, besok menyakitkan karena terkena penyakit, hari lain terlupakan karena sibuk.

Memaksa bahwa hidup harus terus penuh kesenangan, itulah penderitaan. Menjaga jarak yang sama pada setiap kejadian, itulah kedamaian dan kebebasan. Dari sana mungkin muncul kualitas otentik yang tak bisa diperkosa monster uang dan kekuasaan.

Senyum saja
Clouds in the sky of enlightenment, demikian pesan guru tercerahkan (baca: otentik) kepada muridnya dalam mengarungi kehidupan. Semua pengalaman hidup serupa awan di langit pencerahan. Kesenangan serupa awan putih, kesedihan mirip awan hitam. Awan hitam tak bikin langit hitam, awan putih tak bikin langit putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru luas tak terbatas.

Bagi batin tercerahkan, kebahagiaan yang diperebutkan tak menambahkan apa-apa, kesedihan yang dienyahkan tak mengurangkan apa-apa. Terutama karena terlihat terang benderang, semua berputar sekaligus indah apa adanya. Perhatikan ikan yang hidup di air, burung yang terbang di udara. Ikan tak menyebut burung bodoh karena tak mengenal kehidupan dalam air, burung tak menyebut ikan kurang wawasan karena tak terbang ke mana-mana. Keduanya bahagia apa adanya. Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang mengungkapkan keraguan: kalau begitu, manusia tercerahkan pasif dan tak melakukan apa-apa?

Kendati tak tersentuh oleh kejadian, sifat alami makhluk tercerahkan penuh kasih sayang. Seperti air yang tak bisa dipisahkan dengan basah, api yang tak bisa dipisahkan dengan panas, pencerahan tak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Karena itu, makhluk tercerahkan kesehariannya banyak senyum. Tatkala gembira ia senyum, saat berduka juga senyum. Mungkin kedengaran aneh, tetapi begitulah kese- harian makhluk tercerahkan, terutama karena yang mengagumkan muncul lenyap, yang menjengkelkan muncul lenyap. Seperti matahari, apa pun komentar orang, besok pagi tetap terbit kembali melayani kehidupan.

Seorang anak muda protes keras, kesannya cuek dan membosankan? Keheningan yang tak dipeluk kasih sayang tak pernah diajarkan sebagai jalan pencerahan. Setelah membadankan dalam-dalam hakikat semua fenomena yang muncul lenyap, guru-guru tercerahkan kemudian mengisi hidupnya dengan pelayanan. Bukan pelayanan yang memaksa harus masuk surga, bukan juga pelayanan yang trauma akan neraka. Sebagaimana samudra yang selalu bawa kegembiraan gelombang, pencerahan selalu bawa kegembiraan kasih sayang bersamanya. Ada kebahagiaan menawan di balik penerapan kasih sayang.

Seorang kakek ditanya cucunya, ”Kenapa orang tercerahkan juga dimaki dan disakiti?” Dengan lembut kakeknya bergumam, semua memiliki sifat alami masing-masing. Seperti kambing, dikasih rumput dimakan, dikasih daging akan menghindar, tanpa perlu mencaci bahwa pemakan daging dosa dan masuk neraka. Serupa serigala, dikasih daging dimakan, diberi rumput menghindar, tanpa mencaci bahwa orang vegetarian bodoh dan tolol. Sejalan dengan ini, panggilan alami sejumlah manusia memang memaki dan menyakiti. Dalam pandangan guru tercerahkan, makian adalah bel kesadaran untuk selalu peduli dan rendah hati. Ketika disakiti, sesungguhnya manusia sedang mengalami pemurnian.

Bila begini cara mengalami hidup, uang dan kuasa berhenti jadi monster menakutkan. Sekaligus buka kemungkinan bagi kelahiran manusia otentik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar